Dakwahnya Menyentuh Hatiku
Seorang
lelaki setengah baya berhidung mancung berjalan melintasiku. Kulit jari
manisnya dihiasi cincin perak bamata hijau ranum. Bajunya rapi dan
terlihat bersih. Lelaki itu berjalan mendekati seorang nenek tua yang
hendak manyeberangi jalan raya. Aku terharu malihatnya. Pada masa
sekarang masih ada orang yang baik hati mambantu orang lain dalam
kesusahan. Lelaki itu kembali melintasiku lagi dan kali ini matanya
menatapku sekali.
“Assalamu’alaikum”, lelaki setengah baya itu manyapaku.
“Wa’alaikumussalam”, jawabku dengan agak sedikit bingung.
Aku
merasa pernah melihat lelaki itu, tetapi aku tidak ingat persisnya di
mana. Ia tersenyum kepadaku kala melintasiku. Aku maneruskan
perjalananku ke arah pasar. Aku membeli celana panjang dan baju kaos
berwarna merah muda. Saat aku bajalan kembai ke rumahku, aku bertemu
kembali dengan lelaki tadi. Saat itu kulihat lelaki itu masuk ke dalam
masjid di dekat pasar. Ia terus masuk tanpa menoleh ke rah lain sehingga
ia tidak melihatku. Langkahku terus kuayunkan ke arah rumah.
Lelah,
penat, gerah, dan lapar sangat terasa sekali olehku setelah aku sampai
di rumah. Aku masih teringat dengan lelaki setengah baya tadi. Aku
penasaran, siapa gerangan lelaki itu karena aku yakin pernah melihat ia
sebelumnya. Sore harinya aku diminta ibuku ke warung membeli telur ayam
kampung. Jarak warungnya cukup jauh dari rumah tempat tinggalku. Kupilihlima belas butir telur ayam kampung yang baik pesanan ibuku.
“Berapa Pak harga lima belas butir telur ayam kampung ini?” tanyaku sambil menunjuk telur-telur yang sudah kupilih.
“Enam belas ribu rupiah Nak.”
Sengaja tidak kutanyakan harga per butirnya karena saat itu aku sedang malas manghitung harga sebutir telur dikali lima balas butir.
Aku
terkejut, saat aku megetahui uang ibuku ternyata tertinggal di atas
lamari hiasku. Setiap kali aku hendak bepergian, aku memang tidak pernah
lupa berhias terlebih dahulu. Menurutku penampilan itu termasuk urusan
yang penting dalam hidup. Sialnya, dompetku pun tidak kubawa. Pikirku,
akan terasa lelah sekali jika aku harus kembali pulang ke rumah
mangambil uang itu. Terlintas dalam pikiranku untuk berhutang telur
kepada pemilik warung.
“Assalamu’alaikum!”
Aku
terkejut mendengar suara salam dari arah balakangku. Suara itu
sekaligus memecah pikiranku yang sedang bingung. Kulihat di balakangku.
Bertambah terkejutlah aku. Pasalnya, lelaki setengah baya yang bertemu
denganku tadi siang sudah ada di hadapanku saat ini.
“Wa’ailaikumussalam!” balasku sekenanya.
“Kamu sedang menunggu jemputan ya?” tanyanya dengan nada bercanda.
Aku heran dengan pertanyaan itu. Pertanyaannya mamberi kesan kalau ia mengetahui tentangku dan tentang pekerjaanku.
“Aku tidak sedang menunggu siapa-siapa.”
“Kamu sedang ada masalah saat ini?”
Lelaki itu rupanya senang bertanya, dalam pikiranku. Ia memang telihat seperti orang terpelajar dari penampilannya.
“Ya, aku sedang ada masalah. Uang ibuku dan dompetku tertinggal di rumah dan saat ini aku sedang bingung untuk membayar lima belas telur ayam kampung yang hendak kubeli.
“Barapa harganya?” ia kembali bertanya kepadaku dan kujawab seadanya.
“Pak, ini uangnya.” Lelaki itu berkata sambil menyerahkan uang kepada pemilik warung.
Aku
heran mengapa orang ini senang sekali membatu orang lain. Pohon hidup
dengan adanya akar, bergitu pula dengan manusia yang berbuat dengan
adanya alasan. Saat kukatakan terima kasih dan bertanya kepadanya
mengapa ia senang membantu orang lain, ia hanya mengatakan bahwa kita
wajib menolong orang yang sedang mengalami kesusahan semampu kita.
Kata-katanya pendek , tetapi penuh arti. Aku saat itu hanya
mengangguk-anggukan kepalaku sebagai tanda bahwa aku mengerti dengan
perkataannya.
“Kamu
tenang saja, uang yang kupakai tadi adalah uang yang halal.
Wassalamu’alaikum ”, katanya saat ia hendak pergi meninggalkanku.
Aku
tidak berkata apa-apa lagi saat itu kepadanya selain ucapan salam.
Kulangkahkan kakiku menuju rumah. Aku masih bertanya-tanya sendiri
tentang lelaki itu. Dalam pikiranku, siapa gerangan lelaki itu. Ia
mengingatkanku dengan ayaku yang telah lama meninggalkan aku dan ibuku
untuk dapat hidup bersama dengan wanita lain. Aku sudah lupa wajah
ayahku. Saat ayahku menceraikan ibuku, aku masih berusia lima tahun.
Semua foto ayahku pun sudah dimusnahkan ibuku. Aku memakluminya karena
wanita mana yang tidak sakit hati ditinggalkan lelaki yang sangat
dicintainya. Kulupakan soal lelaki itu dan ayahku, pasalnya aku harus
menyiapkan pakaianku untuk kupakai nanti malam.
***
Malam harinya aku kembali melangkahkan kedua kakiku di luar rumah. Banyak orang di jalanan. Ada yang
bajalan sepertiku, bersepeda, berkendara, dan banyak juga yang
bermobil. Kotaku selalu ramai walau hari sudah malam. Malam itu kupakai
celana panjang dan baju kaos berwarna merah muda yang kubeli tadi siang.
Aku sering berjalan di malam hari. Saat di tengah perjalanan, hujan
lebat menyerangku secara bertubi-tubi. Aku langsung lari ke arah warung
bakso yang ada di dekatku untuk berteduh. Malam itu udara sangat dingin.
Aroma bakso tercium di hidungku. Perutku menjadi lapar karena
menciumnya. Ingin sekali aku makan bakso saat itu, tetapi uangku yang
masih bertengger di dompetku sisa sedikit setelah aku membeli celana
panjang dan baju kaos yang sedang kupakai ini.
“Assalamu’ailaikum!”
Salam
dan suara itu sudah akrab di talingaku. Aku tidak terkejut lagi,
melainkan aku bingung mengapa lelaki itu terus mengikutiku.
“wa’alaikumussalam!” balasku.
“Ayo makan! Aku taraktir kamu malam ini makan bakso.”, katanya.
Kami
makan bakso bersama malam itu. Aku duduk di sampingnya. Udara malam
menjadi teman kami saat itu. Lelaki itu banyak bertanya tentangku, mulai
dari namaku, tempat tinggalku, hingga pekerjaanku. Saat lelaki itu
bertanya soal pekerjaanku, aku terpaksa mendustainya. Aku katakan
kepadanya bahwa aku bekerja bersama ibuku berjualan kain di pasar. Aku
berdusta karena aku tidak mau mengatakan pekerjaanku yang sebenarnya
kepada lelaki itu. Bakso yang kami makan sudah habis. Hujan pun telah
reda. Kini saatnya kami harus berpisah.
Aku
merasa lelaki itu sengaja mengikuti aku. Aku juga merasa sebenarnya
lelaki itu sebenarnya hendak manyadarkan aku dari parbuatan yang selama
ini aku perbuat. Selesai dengan pekerjaanku, aku langsung pulang ke
rumah. Terasa lelah sekali tubuhku saat aku kembali di rumah. Kurebahkan
tubuhku di atas alas kasur kesayangaku yang empuk. Tak terasa, sudah
empat jam aku tidur. Tidurku sangat nyenyak. Saat siang hari, aku
sendirian di rumah. Ibuku setiap pagi sampai siang hari berjualan kue
pisang di perempatan jalan. Perempuan seusiaku sebenarnya masih duduk di
bangku sekolah. Akan tetapi, aku malah di rumah. Aku putus sekolah saat
aku duduk di bangku kelas dua Sekolah Lanjutan Menengah Pertama. Tidak
ada biaya lagi untukku melanjutkan sekolah. Siang hari pekerjaanku
memasak di rumah untuk makan kami sekeluarga. Walau hanya aku dan ibuku,
kami adalah keluarga yang bahagia. Biasanya kami makan bersama di
samping rumah sambil menikmati hembusan angin yang sejuk dari sela-sela
pepohonan milik kami.
***
Tidak
terasa hari sudah gelap kembali. Aku pun harus mencari uang seperti
biasanya. Malam itu malam yang kesekian kali aku bekerja.
“Rat ada orang.”, pak Udin mamberitahukanku.
“Di dalam ya Pak orangnya?” tanyaku kepada pak Udin.
“Ya, masuk saja di kamar 31.”, jawab beliau.
Kumasuki
kamar 31. Malam itu terasa berbeda di batinku. Aku terkejut sekali
setelah aku tahu orang yang ada di kamar 31 itu lelaki setengah baya
yang sering menemuiku.
“Terkejut ya melihatku ada di sini?” tanya lelaki itu kepadaku.
“Ya, aku akui hatiku terkejut.”, jawabku lirih.
“Jangan
salah sangka padaku! Aku ada di sini bermodal nekad. Aku sudah tidak
tahan melihatmu yang masih sangat muda harus bekerja di tempat-tampat
seperti ini.”
“Jadi sebenarnya Bapak sudah tahu tentangku?”
“Ya,
benar sekali katamu. Aku sengaja mengikuti dan mencontohkan perbuatan
yang baik di hadapanmu agar kamu sadar kalau sebenarnya berbuat baik itu
lebih bermanfaat daripada berbuat sebaliknya.”
“Ya, yang Bapak katakan itu benar dan aku salah.”
“Maaf
jika kamu beranggapan bahwa aku terlalu cerewet dalam hal ini! Aku ini
hanya ingin menyerumu ke jalan kebaikan agar kamu dapat memperoleh
kebahagiaan yang sesungguhnya.”
Air
mataku langsung mengucur di atas kedua belah pipiku. Lelaki itu
tersenyum melihatku. Dalam pikiranku, andai ia adalah ayahku akan
kupeluk erat-erat tubuhnya.
“Masih bisakah tobatku diterima-Nya?”
“Mengapa tidak?”
“Senyumku kembali merekah di kedua bibirku.”
***
Setelah
malam itu berlalu aku tidak lagi menginjakkan kakiku di tempat-tempat
seperti itu. kujalani hidupku dengan normal bersama ibuku yang sangat
aku sayangi. Kubuang jauh-jauh kenangan burukku dari kehidupanku. Kini,
aku berjualan kue pisang menggantikan ibuku yang sudah mulai tua. Ibuku
kuminta untuk istirahat di rumah. Aku meikmati pekerjaanku sekarang.
Sewaktu-waktu aku masih teringat dengan lelaki setengah baya yang pernah
mampir di kehidupanku itu. Entah siapa sebenarnya lelaki itu.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar