Artikel Bahasa Sastra
ARTIKEL 1
Problematika Pengajaran Sastra di Sekolah
Di
tengah ramainya tuntutan para guru untuk mendapatkan kesejahteraan yang
layak bagi mereka, sudahkah para guru itu berkontemplasi. Maksudnya
adalah merenungi atas hal-hal yang telah mereka perbuat dalam dunia
pendidikan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa Indonesia. Sastra
merupakan bagian intergral dalam dunia pendidikan tersebut yang
diajarkan di setiap jenjang pendidikan di Indonesia, termasuk juga di
Kalimantan Selatan. Pengajaran sastra mencakup ketiga genre sastra,
yakni prosa fiksi, puisi, dan drama. Dalam pengaplikasiannya, ketiganya
disintesiskan dengan kegiatan menyimak dan membaca sebagai aktivitas
reseptif para siswa. Disintesiskan juga dengan kegiatan berbicara dan
menulis para siswa yang merupakan aktivitas produktif mereka. Hal ini
berlangsung hingga pada tahap evaluasi.
Dalam
pengajaran sastra ini, terdapat beberapa problematika yang harus segera
diatasi oleh para guru bahasa dan sastra di sekolah. Hal ini kita
pandang perlu karena problematika pengajaran sastra menyebabkan kurang
optimalnya pengajaran sastra di sekolah. Akhirnya, para siswa pun kurang
cerdas dalam hal bersastra. Kita tidak hanya mengharapkan output dalam pembelajaan sastra. Lebih daripada itu, kita mengingkan outcome yang
bagus. Contoh, proses belajar-mengajar terjadi dan akhirnya siswa
memiliki pengetahuan tentang sastra. Banyak orang beranggapan bahwa
contoh itu telah selesai. Padahal, dalam contoh itu hanya sampai pada output. Kita menginginkan para siswa di lapangan dapat mengapresiasi, menganalisis, dan juga dapat memproduksi karya sastra sebagaioutcome dalam pengajaran sastra di sekolah.
Selama ini pengajaran sastra di sebagian besar sekolah hanya terjadi dalam ruang yang diapit dinding-dinging kelas. Hasilnya,
daya imajinasi dan kreasi mereka kurang berkembang secara optimal.
Misalnya, ketika para siswa mendapatkan tugas membuat puisi berkenaan
dengan alam. Namun, guru yang bersangkutan tidak mengajak mereka ke alam
terbuka. Padahal di ruang tertutup dinding-dinging kelas kurang
mendukung dalam menumbuhkembangkan daya imajinasi dan kreasi mereka
dalam proses penciptaan puisi. Ini merupakan salah satu problematika
dalam pengajaran sastra di sekolah. Seharusnya para siswa perlu diajak
oleh para guru keluar ke alam terbuka yang membantu mereka dalam proses
penciptaan karya sastra.
Problematika
yang lain, sebagian besar guru bahasa dan sastra di sekolah juga kurang
menumbuhkembangkan minat dan kemampuan para siswa dalam hal sastra.
Sebenarnya para guru bahasa dan sastra Indonesia dapat mengusahakan
karya sastra siswa dimuat di media massa, dalam bentuk buku sastra, dan
juga dalam media elektronik, yakni internet dan radio. Hal terakhir ini
sangat bagus dalam menumbuhkembangkan potensi sastra yang ada pada diri
para siswa. Mereka akan tertantang untuk membuat dan memublikasikan
karya-karya sastra mereka secara luas dan secara kontinyu. Kenyataan
yang lebih memprihatinkan, sebagian besar guru bahasa dan sastra tidak
menjadi contoh sebagai orang yang aktif membuat dan memublikasikan karya
sastra di media massa, dalam buku sastra, dan media elektronik.
Selain
itu, sebagian besar guru bahasa dan sastra di sekolah juga sangat
kurang memperkenalkan sastrawan-sastrawan Kalimantan Selatan kepada para
siswa. Oleh karena itu, wajar jika sebagian besar siswa tidak mengenal
para sastrawan Kalimantan Selatan. Padahal, biodata dan karya-karya
sastrawan Kalimantan Selatan merupakan pengetahuan sastra yang harus
dimiliki oleh para siswa di setiap jenjang pendidikan di sekolah.
Seharusnya, para guru bahasa dan sastra jangan hanya memperkenalkan para
sastrawan dari pulau Jawa, Sumatera, atau dari pulau lainnya kepada
para siswa. Perlu kita ketahui bahwa sebagian sastrawan Kalimantan
Selatan juga sudah menjadi sastrawan nasional di Indonesia. Sebut saja
dua contohnya, Jamal T. Suryanata dan Arsyad Indradi. Karya-karya
sastrawan Kalimantan Selatan pun layak menjadi bahan pelajaran sastra di
setiap jenjang pendidikan di provinsi ini. Dengan demikian, para sisiwa
juga dapat membuat karya sastra berbahasa Banjar karena sastrawan Kalel
juga ada yang menggunakan bahasa Banjar dalam berkarya sastra. Bahasa
Banjar pun akhirnya bertambah lestari. Problematika yang ketiga ini juga
harus segera diatasi agar pengajaran sastra di sekolah dapat
berlangsung secara baik dan benar.
Hal yang tidak kalah memprihatinkannya dalam pengajaran sastra di provinsi
ini adalah berkenaan dengan sastra daerah Kalimantan Selatan. Banyak
guru bahasa dan sastra yang kurang menyinggung apalagi membelajarkan
sastra daerah Kalimantan Selatan, seperti mamanda, lamut, dan madihin
kepada para siswa. Padahal sastra daerah Kalimantan Selatan perlu sekali
di ajarkan dengan porsi yang memadai. di sekolah-sekolah. Hal ini
sangat bagus dalam rangka melestarikan khazanah kekayaan sastra dan
bahasa Banjar di provinsi ini. Problematika keempat ini merupakan
fenomena yang sangat memprihatinkan. Sastra daerah Kalimantan Selatan
seharusnya diajarkan para guru bahasa dan sastra kepada para siswa.
Menutup tulisan ini, sudah saatnya para guru bahasa dan sastra di sekolah mengatasi problematika pengajaran sastra seperti paparan di atas. Hal ini guna kemajuan di provinsi kita. Bagaimana menurut Anda?
Budaya Antikritik: Memadamkan Cahaya Pengetahuan
(Tanggapan terhadap Tulisan Orang-Orang yang Berbudaya Antikritik)
”salam kenal
saya
selalu membaca tulisan-tulusan Anda saya salut dengan tulisan Anda,
tetapi akhir-akhir ini saya kecewa dengan tulisan Anda yang seakan-akan
selalu memojokkan pusat bahasa,dan balai bahasa,apalagi pada tulisan
Anda pada hari minggu tanggal 8 Febuari seakan Anda sok pintar dan sok
mengurui. Padahal sepengetahuan Saya Anda dulu pada tulisan-tulisan Anda
selalu mengaku sebagai peneliti pusat bahasa, tetapi kenapa akhir-akhir
ini Anda selalu memojokan pusat bahasa, Apakah Anda orang yang frustasi
atau tidak punya kerjaan, sehingga kerjaanya hanya menjelekkan orang
saja dan sok pintar. Cepatlah bercermin siapa diri Anda.”
Tulisan
di atas adalah isi dari salah satu pos-el yang ditujukan kepada saya
pada tanggal 11 Februari 2009. Ya, tanggal sebelas. Tanggal yang
mengingatkan saya dengan runtuhnya gedung kembar di Amerika Serikat.
Dalam tulisan ini saya tidak bermaksud berkeluh kesah karena tulisan di
atas. Akan tetapi, tulisan tersebut membuktikan kepada kita semua bahwa
di alam Kalimantan Selatan masih kental dengan budaya antikritik. Budaya
yang membelenggu akal manusia dalam berpikir. Budaya itu pulalah yang
saya bahas dalam tulisan ini. Sebelumnya, seorang sastrawan muda
Kalimantan Selatan—Harie Insani Putra—juga pernah menerima tulisan
semacam itu di lamannya. Sastrawan muda itu menerimanya setelah ia
menulis sebuah kritik membangun dalam lamannya berjudul Ensiklopedia Sastra Kalsel Versi Balai Bahasa Banjarmasin.
Ah,
sungguh terkebelakangnya orang-orang ini dalam memandang sebuah kritik
yang membangun. Padahal, selama sesuatu itu dibuat oleh manusia seperti
buku Ensiklopedia Sastra Kalsel dan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI),
tentulah masih perlu direvisi. Sebenarnya kritik terhadap karya Pusat
Bahasa bukan saya saja yang melakukannya. Salah satu contoh, bacalah
buku besrjudul Bahasa Menunjukkan Bangsa karangan Alif Danya Munsyi yang isinya mengkritik hasil karya Pusat Bahasa, salah satunya KBBI.
Ingatlah bahwa Pusat Bahasa dan Balai Bahasa Banjarmasin bukanlah Tuhan
yang selalu benar. Kita sama, memiliki kelemahan dan harus saling
meluruskan. Jadi, tepatlah penyataan, ”Tak ada gading yang tak retak”
Saya berkata yang sebenarnya dan bukan kata-kata bohong atau
mengada-ada.
Untuk
kepentingan tersebut di atas, mau tidak mau, kritik sangat diperlukan.
Kritik tidak lain adalah tindakan meluruskan sesuatu yang salah. Lebih
ringannya, kritik diartikan ’mengingatkan’ agar selamat. Jika kesalahan
dibiarkan terus menerus tanpa kritik, dunia akan menjadi kacau balau dan
binasa. Jadi, katamemojokkan yang
dielu-elukan oleh pengirim pesan tersebut sangat tidak tepat. Bahkan,
sebenarnya orang-orang yang menuliskan pesan-pesan tak bertanggung jawab
ini telah melakukan perbuatan tidak menyenangkan orang lain, yakni saya
dan Harie I.P. Mereka juga telah melakukan kejahatan elektronik di
internet yang seharusnya kita hindari sejauh-jauhnya.
Penulis pesan itu mengaku bernama Nur Janah Janah (nama yang tak lazim) dengan alamat pos-el di janahnurjanah39@yahoo.co.id.
Entahlah, apakah itu nama aslinya atau bukan? Namun yang jelas, ia
adalah orang yang fanatik kepada instansi yang dibelanya. Ia juga tidak
berani mengirimkan tulisan itu di laman saya karena takut saya ketahui
alamat IP Address-nya. Kemungkinan ia memanfaatkan IP Address kantor. Ternyata ia tidak tahu jika dari pos-el pun dapat diketahui IP Address yang digunakan seseorang (baca: pengirim). Setelah dicari kebenarannya, IP Adress yang digunakannya adalah 118.98.219.109. IP Addresstersebut adalah IP Address Balai Bahasa Banjarmasin. Masya Allah! Inikah wajah Balai Bahasa Banjarmasin yang sesungguhnya? Lalu, Siapakah dia?
Siapa
dia, tidak penting bagi kita. Hal yang menurut saya penting adalah
sikapnya menanggapi kritikan. Yakni sikap yang menginginkan kritik
ditiadakan. Ah, sangat lucu. Kritik sebenarnya merupakan sebuah
pemikiran yang lahir dari akal yang sehat. Isi kritik tidak lain adalah
sebuah pengetahuan yang lebih rasional dan cerdas. Jika kritik
ditiadakan, itu artinya memadamkan cahaya pengetahuan yang lebih
rasional dan cerdas dengan budaya antikritik. Dengan kata lain, Nur Janah Janah menginginkan kesalahan terus-menerus ada di masyarakat. Jika
demikian halnya, kesalahan akan merajalela di Kalimantan Selatan. Wahai
saudariku, sadarlah dan segerlah insyaf sebelum pintu tobat
ditutup-Nya.
Jujur, dulu saya memang kerap menulis di media massa dengan mencantumkan embel-embel, yakni Peneliti pada Pusat Bahasa di bawah nama saya. Hal itu wajar karena pekerjaan saya adalah meneliti bahasa di bawah Pusat Bahasa. Isi tulisan saya dulu juga seputar bahasa dan sastra, seperti tulisan saya akhir-akhir ini yang dimuat di Radar Banjarmasin.
Lalu apa yang berubah dengan isinya? Jawabnnya tidak ada. Mengapa
demikian? Karena, dari dulu hingga sekarang, saya masih ikut berusaha
memajukan bahasa dan sastra di Kalimantan Selatan lewat media massa.
Jika menurut Nur Janah Janah tulisan saya tentang ”Honorarium
Sastrawan”, ”Ensiklopedia Sastra Kalsel”, ”Gerakan Cinta Bahasa
Indonesia”, dan juga tentang ”makna lema sastrawan dalam KBBI” merupakan
tindakan memojokkan Pusat Bahasa dan Balai Bahasa Banjarmasin, itu
salah besar. Mengapa? Karena dalam kritikan saya tersebut, saya berusaha
untuk meluruskan kesalahan yang ada, misalnya saja kesalahan penggunaan
bahasa Indonesia dalam buku Ensiklopedia Sastra Kalimantan Selatan. Ngomong-ngomong, bagaimana ya kabarya buku Ensiklopedia Sastra Kalsel itu
saat ini? Apakah sudah diobati, atau entahlah? Saran saya, segeralah
diobati sebelum bukunya wafat. Sebenarnya, juga tidak perlu adanya ESKS tandingan
yang pernah diusulkan Tajuddin Noor Ganie dalam kotak pesan di laman
Sandi Firli. Cukuplah satu, tapi benar. Bukankah yang berlebih-lebihan
itu tidak baik? Setuju?
Mengenai makna-makna lema dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dan
hal-hal yang dihasilkan oleh siapa pun, kita sebaiknya tidak mengikuti
begitu saja. Hal ini karena kita memiliki potensi untuk menyeleksi mana
yang benar dan mana yang salah. Sebagai ilustrasi, seseorang membeli kue
dan memakannya tanpa memperhatikan baik buruknya kue tersebut.
Akhirnya, orang tersebut meninggal dunia karena kue tersebut (ini kisah
nyata). Begitu pula dengan produk bahasa dan sastra. Jika kita langsung
mengikuti pengetahuan bahasa dan sastra tanpa memperhatikan benar dan
salahnya, kita juga harus siap-siap menelan kesalahan berbahasa dan
bersastra. Contohnya, jika kita turuti saja pengetahuan berupa jumlah
sastrawan Kalsel seperti yang ada dalam buku Ensiklopedia Sastra Kalsel, kita tentu akan salah dalam pengetahuan mengenai jumlah sastrawan di provinsi ini.
=====Pertanyaannya
sekarang adalah, apakah perbuatan saya dalam usaha memanjukan bahasa
dan sastra di Kalimantan Selatan termasuk tindakan sok pintar dan
menjelekkan Pusat Bahasa dan Balai Bahasa Banjarmasin? Silakan Anda
jawab dengan hati nurani yang objektif memandang suatu perkara. Saya
katakan dengan objektif karena Nur Janah Janah tidak secara objektif
memandang perkara yang dilemparkannya itu. Jika ia objektif, ia akan
membela pihak yang benar dan bukannya membenar-benarkan pihak yang
salah. Fanatik seharusnya kita hindari karena fanatik akan melahirkan
hal yang tidak sebenarnya. Hal yang sebenarnya adalah bahwa ada
kesalahan sehingga ada kritik. Tetapi, disangkal Nur Janah Janah bahwa
tidak ada yang salah dan tukang kritik kerjanya hanya memojokkan,
menjelek-jelekkan, sok pintar, dan sok menggurui. Kalau seperti ini
keadaannya, apa kata dunia?
=====Di
akhir tulisannya, Nur Janah Janah menyuruh saya untuk bercermin siapa
diri saya. Kata-katanya itu mengandung maksud bahwa dirinya lebih
pintar, lebih jago, lebih segalanya daripada saya. Saya sudah mencermini
diri saya sejak dulu. Saya hanyalah makhluk yang memiliki segudang
kesalahan. Karena itulah saya tidak ingin orang lain melakukan kesalahan-kesalahan sehingga seperti saya.Bagaimana caranya, yakni dengan kritik yang membangun. Dengan
kata lain, saya berusaha meluruskan kesalahan dengan jalur tulisan.
Lalu apakah dengan itu saya sok pintar? Kalau demikian halnya, lalu
apakah rasulullah yang meluruskan kesalahan kaum Jahiliah juga sok
pintar? Meluruskan hal salah bukan perbuatan sok pintar, melainkan
kewajiban setiap manusia terhadap sesamanya. Perhatikan ilustrasi ini.
Seseorang melihat temannya tidak salat. Lalu seseorang itu cuek saja.Ia
tidak peduli dengan temanya itu. Kemudian datang seorang ustad menyeru
temannya itu agar mengerjakan salat dan akhirnya ustad itu berhasil
sehingga temannya itu salat. Pertanyaannya, apakah ustad itu sok pintar?
Tentu jawabnnya adalah tidak sok pintar. Lalu apakah seseorang yang
cuek dengan temannya itu benar? Tentulah ia salah karena tidak
mengkritik hal yang salah. Seseoarang itu membiarkan temannya terjerumus
ke jurang hitam.
=====Dari paparan tersebut, jika kita, termasuk saya tidak mengkritikEnsiklopedia Sastra Kalsel misalnya,
tentulah kita telah membiarkan orang-orang terjerumus dalam kesalahan.
Mengenai menggurui, sebenarnya meluruskan kesalahan orang lain bukanlah
menggurui. Jadi, sebaiknya jangan berprasangka buruk dulu kepada orang
lain dengan mengatakai orang lain menggurui. Ingatlah, hakikatnya hidup
kita saat ini adalah kita sedang berjalan di jalan setapak yang
belubang-lubang. Jika kita tidak behati-hati dan tidak saling
meluruskan, kita akan terjerembab dalam lubang-lubang itu. Karena
itulah, kita harus berhati-hati dengan berpegang pada pedoman dari Tuhan
plus sunah rasul dan harus saling meluruskan dalam segala hal untuk
menggapai ridha-Nya.
=====Akhirnya,
saya mencoba memahami keadaan alam kita saat ini. Indonesia, mengapa
tidak semaju bangsa lainnya? Ya, salah satunya adalah masih adanya
budaya antikritik di negara kita tercinta ini. Pada intinya, budaya
antikritik hanya akan memadamkan cahaya pengetahuan dalam berbagai
disiplin ilmu. Karena itulah, jangan memandang
seseorang termasuk kritikus dengan tatapan yang sinis. Tataplah dengan
pandangan yang baik dalam kehangatan persaudaraan. Terbukalah untuk
menerima teman dari luar lingkup kita. Teman tentu bukanlah lawan yang
harus dimusuhi, melainkan kita rangkul untuk melangkah bersama menuju
kemajuan. Bagaimana menurut Anda?
ARTIKEL 2
ARTIKEL 2
Problematika Pengajaran Sastra di Sekolah
Di
tengah ramainya tuntutan para guru untuk mendapatkan kesejahteraan yang
layak bagi mereka, sudahkah para guru itu berkontemplasi. Maksudnya
adalah merenungi atas hal-hal yang telah mereka perbuat dalam dunia
pendidikan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa Indonesia. Sastra
merupakan bagian intergral dalam dunia pendidikan tersebut yang
diajarkan di setiap jenjang pendidikan di Indonesia, termasuk juga di
Kalimantan Selatan. Pengajaran sastra mencakup ketiga genre sastra,
yakni prosa fiksi, puisi, dan drama. Dalam pengaplikasiannya, ketiganya
disintesiskan dengan kegiatan menyimak dan membaca sebagai aktivitas
reseptif para siswa. Disintesiskan juga dengan kegiatan berbicara dan
menulis para siswa yang merupakan aktivitas produktif mereka. Hal ini
berlangsung hingga pada tahap evaluasi.
Dalam
pengajaran sastra ini, terdapat beberapa problematika yang harus segera
diatasi oleh para guru bahasa dan sastra di sekolah. Hal ini kita
pandang perlu karena problematika pengajaran sastra menyebabkan kurang
optimalnya pengajaran sastra di sekolah. Akhirnya, para siswa pun kurang
cerdas dalam hal bersastra. Kita tidak hanya mengharapkan output dalam pembelajaan sastra. Lebih daripada itu, kita mengingkan outcome yang
bagus. Contoh, proses belajar-mengajar terjadi dan akhirnya siswa
memiliki pengetahuan tentang sastra. Banyak orang beranggapan bahwa
contoh itu telah selesai. Padahal, dalam contoh itu hanya sampai pada output. Kita menginginkan para siswa di lapangan dapat mengapresiasi, menganalisis, dan juga dapat memproduksi karya sastra sebagaioutcome dalam pengajaran sastra di sekolah.
Selama ini pengajaran sastra di sebagian besar sekolah hanya terjadi dalam ruang yang diapit dinding-dinging kelas. Hasilnya,
daya imajinasi dan kreasi mereka kurang berkembang secara optimal.
Misalnya, ketika para siswa mendapatkan tugas membuat puisi berkenaan
dengan alam. Namun, guru yang bersangkutan tidak mengajak mereka ke alam
terbuka. Padahal di ruang tertutup dinding-dinging kelas kurang
mendukung dalam menumbuhkembangkan daya imajinasi dan kreasi mereka
dalam proses penciptaan puisi. Ini merupakan salah satu problematika
dalam pengajaran sastra di sekolah. Seharusnya para siswa perlu diajak
oleh para guru keluar ke alam terbuka yang membantu mereka dalam proses
penciptaan karya sastra.
Problematika
yang lain, sebagian besar guru bahasa dan sastra di sekolah juga kurang
menumbuhkembangkan minat dan kemampuan para siswa dalam hal sastra.
Sebenarnya para guru bahasa dan sastra Indonesia dapat mengusahakan
karya sastra siswa dimuat di media massa, dalam bentuk buku sastra, dan
juga dalam media elektronik, yakni internet dan radio. Hal terakhir ini
sangat bagus dalam menumbuhkembangkan potensi sastra yang ada pada diri
para siswa. Mereka akan tertantang untuk membuat dan memublikasikan
karya-karya sastra mereka secara luas dan secara kontinyu. Kenyataan
yang lebih memprihatinkan, sebagian besar guru bahasa dan sastra tidak
menjadi contoh sebagai orang yang aktif membuat dan memublikasikan karya
sastra di media massa, dalam buku sastra, dan media elektronik.
Selain
itu, sebagian besar guru bahasa dan sastra di sekolah juga sangat
kurang memperkenalkan sastrawan-sastrawan Kalimantan Selatan kepada para
siswa. Oleh karena itu, wajar jika sebagian besar siswa tidak mengenal
para sastrawan Kalimantan Selatan. Padahal, biodata dan karya-karya
sastrawan Kalimantan Selatan merupakan pengetahuan sastra yang harus
dimiliki oleh para siswa di setiap jenjang pendidikan di sekolah.
Seharusnya, para guru bahasa dan sastra jangan hanya memperkenalkan para
sastrawan dari pulau Jawa, Sumatera, atau dari pulau lainnya kepada
para siswa. Perlu kita ketahui bahwa sebagian sastrawan Kalimantan
Selatan juga sudah menjadi sastrawan nasional di Indonesia. Sebut saja
dua contohnya, Jamal T. Suryanata dan Arsyad Indradi. Karya-karya
sastrawan Kalimantan Selatan pun layak menjadi bahan pelajaran sastra di
setiap jenjang pendidikan di provinsi ini. Dengan demikian, para sisiwa
juga dapat membuat karya sastra berbahasa Banjar karena sastrawan Kalel
juga ada yang menggunakan bahasa Banjar dalam berkarya sastra. Bahasa
Banjar pun akhirnya bertambah lestari. Problematika yang ketiga ini juga
harus segera diatasi agar pengajaran sastra di sekolah dapat
berlangsung secara baik dan benar.
Hal yang tidak kalah memprihatinkannya dalam pengajaran sastra di provinsi
ini adalah berkenaan dengan sastra daerah Kalimantan Selatan. Banyak
guru bahasa dan sastra yang kurang menyinggung apalagi membelajarkan
sastra daerah Kalimantan Selatan, seperti mamanda, lamut, dan madihin
kepada para siswa. Padahal sastra daerah Kalimantan Selatan perlu sekali
di ajarkan dengan porsi yang memadai. di sekolah-sekolah. Hal ini
sangat bagus dalam rangka melestarikan khazanah kekayaan sastra dan
bahasa Banjar di provinsi ini. Problematika keempat ini merupakan
fenomena yang sangat memprihatinkan. Sastra daerah Kalimantan Selatan
seharusnya diajarkan para guru bahasa dan sastra kepada para siswa.
Menutup tulisan ini, sudah saatnya para guru bahasa dan sastra di sekolah mengatasi problematika pengajaran sastra seperti paparan di atas. Hal ini guna kemajuan di provinsi kita. Bagaimana menurut Anda?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar