ditulis oleh: Al-Ustadzah Ummu ‘Abdirrahman bintu ‘Imran)
Doa orangtua untuk anaknya adalah salah satu doa yang paling
didengar Allah l. Maka semestinya orangtua senantiasa mengalirkan doa
kebaikan bagi anak-anaknya. Orangtua juga mesti meneguhkan kesabaran
jika menjumpai penyimpangan pada anak-anaknya. Bukan malah mengutuk atau
mendoakan kejelekan bagi mereka.
Sesuatu yang sudah lazim untuk diketahui, orangtua harus membimbing
anak-anaknya. Mereka butuh diarahkan, diajari, ditegur dan diluruskan
bila mereka salah atau lupa. Semua itu tak lain untuk kebaikan masa
depan si anak; masa depan di dunia dan masa depan di akhirat.
Kadang kala yang terjadi, orangtua sudah mengerahkan segala upaya
untuk mengajari dan membimbing, namun si anak tetap membandel dan
‘kepala batu’. Entah apa lagi cara yang harus ditempuh, seakan-akan
semua jalan telah buntu.
Memang, mencetak seorang anak menjadi anak shalih yang selalu
menyenangkan hati bukanlah semata hasil kerja keras orangtua dan
pendidik. Semua usaha yang ditempuh hanyalah merupakan sebab-sebab yang
dilakukan untuk mencapai tujuan itu. Adapun yang membuat hati si anak
terbuka untuk menerima pengarahan serta bimbingan orangtua dan
orang-orang yang mendidiknya adalah Allah l. Allah l berfirman kepada
Nabi-Nya n:
“Sesungguhnya engkau takkan bisa memberikan hidayah (taufik) kepada
orang yang engkau cintai, akan tetapi Allah memberikan hidayah kepada
siapa pun yang Dia kehendaki, dan Dia Maha Mengetahui orang-orang yang
mau menerima petunjuk.” (Al-Qashash: 56)
Dalam ayat-Nya ini, Allah l memberitahukan kepada Rasulullah n bahwa
beliau –lebih-lebih lagi selain beliau– tidak akan mampu memberikan
hidayah kepada seseorang, walaupun dia orang yang paling dicintai. Tak
seorang pun mampu memberikan hidayah taufik dan menancapkan iman dalam
hati seseorang. Ini semata-mata ada di tangan Allah l. Dialah yang
memberi hidayah pada siapa yang Dia kehendaki. Dia Maha Mengetahui,
siapa yang pantas mendapatkan hidayah dari-Nya hingga nanti Dia berikan
hidayah, dan siapa yang tidak layak mendapatkannya hingga Dia biarkan
orang itu dalam kesesatannya. (Taisirul Karimir Rahman, hal. 620)
Cobalah renungkan, bagaimana upaya Nabiyullah Nuh q dalam
mengembalikan umatnya pada tauhid. Selama 950 tahun beliau mengajak
mereka –dengan berbagai cara– untuk meninggalkan penyembahan berhala dan
hanya menyembah Allah l semata. Namun anak beliau sendiri tidak mau
menyambut seruan mulia sang ayah, sampai saat-saat akhir kehidupan umat
yang durhaka itu. Air bah yang meluap menenggelamkan semua yang ada.
Nabi Nuh q memanggil anaknya yang enggan turut naik ke bahtera:
“Dan Nuh memanggil anaknya yang berada di tempat yang jauh, ‘Wahai
anakku! Naiklah bahtera ini bersama kami dan janganlah kamu bersama
orang-orang kafir’.” (Hud: 42)
Namun apalah daya bila Allah l tidak menghendaki, si anak ini tidak
mendapatkan petunjuk. Tetap dengan kesombongannya dia menolak ajakan
ayahnya, hingga berakhir dengan kebinasaan, ditelan oleh gelombang air
bah yang datang:
“Dia berkata, ‘Aku akan berlindung ke gunung yang akan
menghindarkanku dari air bah’. Nuh berkata, ‘Hari ini tidak ada lagi
yang bisa melindungi dari adzab Allah kecuali Dzat Yang Maha Penyayang.’
Dan gelombang pun menghalangi mereka berdua, maka jadilah anak itu
termasuk orang-orang yang ditenggelamkan.” (Hud: 43)
Menyaksikan anaknya turut tenggelam, timbul rasa iba sang ayah,
hingga Nabi Nuh q pun berdoa kepada Rabbnya. Namun Allah l
memperingatkan Nabi Nuh q dan menyatakan bahwa anaknya bukanlah orang
yang beriman sehingga termasuk orang-orang yang ditenggelamkan:
“Dan Nuh pun menyeru Rabbnya, ‘Wahai Rabbku, sesungguhnya anakku
termasuk keluargaku, dan sesungguhnya janji-Mu adalah janji yang benar,
dan Engkau adalah Hakim yang seadil-adilnya.’ Allah berfirman, ‘Wahai
Nuh, sesungguhnya dia bukan termasuk keluargamu (yang diselamatkan),
sesungguhnya amalannya bukanlah amalan yang shalih. Maka janganlah
engkau meminta kepada-Ku sesuatu yang tidak engkau ketahui. Sesungguhnya
Aku peringatkan engkau agar jangan termasuk orang-orang yang jahil.”
(Hud: 45-46)
Demikianlah keadaannya. Seorang nabi pun tidak dapat menyelamatkan
anaknya dari kekafiran bila si anak tidak dibukakan hatinya untuk
menerima keimanan.
Di sisi lain, sangatlah mudah bagi Allah l untuk memberikan petunjuk
pada hamba yang Dia kehendaki, walaupun hamba itu dikepung oleh kaum
yang berbuat syirik. Allah k kisahkan tentang kekasih-Nya, Ibrahim q
ketika Allah l berikan taufik kepadanya untuk bertauhid:
“Dan demikianlah Kami perlihatkan kepada Ibrahim tanda-tanda
keagungan yang ada di langit dan di bumi, agar dia termasuk orang-orang
yang yakin. Ketika malam telah gelap, dia melihat bintang, lalu berkata,
‘Inilah rabbku’. Tetapi tatkala bintang itu tenggelam, dia berkata,
‘Aku tidak suka pada yang tenggelam’. Kemudian ketika dia melihat bulan
terbit, dia berkata, ‘Inilah rabbku’. Tetapi setelah bulan itu terbenam,
dia berkata, ‘Sesungguhnya jika Rabbku tidak memberi petunjuk padaku,
pasti aku termasuk orang-orang yang sesat. Kemudian tatkala dia melihat
matahari terbit, dia berkata, ‘Inilah rabbku, ini lebih besar’. Tatkala
matahari itu terbenam, dia pun berkata, ‘Wahai kaumku, sesungguhnya aku
berlepas diri dari apa yang kalian persekutukan! Sesungguhnya aku
menghadapkan diriku kepada Rabb yang menciptakan langit dan bumi dengan
cenderung kepada agama yang benar, dan aku bukanlah termasuk orang-orang
yang menyekutukan-Nya’.” (Al-An’am: 75-79)
Hanya Allah l yang dapat memberikan hidayah dan melindungi seorang
anak dari kejelekan. Oleh karena itu, semestinya orangtua menyadari
bahwa tak boleh semata bersandar pada hasil usaha mereka. Namun mereka
harus menengadahkan tangan dan memohon kepada Allah l.
Dalam Kitab-Nya yang mulia, Allah l menyebutkan doa seorang yang telah mencapai umur 40 tahun: ي
“Wahai Rabbku, tunjukilah aku untuk mensyukuri nikmat-Mu yang telah
Engkau karuniakan kepadaku dan kepada kedua orangtuaku, dan untuk
melakukan amal shalih yang Engkau ridhai, dan berikanlah kebaikan
kepadaku dengan kebaikan anak keturunanku.” (Al-Ahqaf: 15)
Tatkala dia berdoa untuk kebaikan dirinya, dia mendoakan pula anak
keturunannya agar Allah l memberikan kebaikan pada segala keadaan
mereka. Disebutkan dalam ayat ini bahwa kebaikan anak cucu akan kembali
manfaatnya bagi kedua orangtua mereka, berdasarkan firman-Nya وَأَصْلِحْ
لِي. (Taisirul Karimir Rahman, hal. 781)
Demikian yang dimohon oleh hamba-hamba Ar-Rahman dalam doa mereka:
“Wahai Rabb kami, anugerahkanlah bagi kami pasangan-pasangan hidup
dan keturunan sebagai penyejuk mata kami, dan jadikanlah kami pemimpin
bagi orang-orang yang bertakwa.” (Al-Furqan: 74)
Nabiyullah Zakariyya q ketika memohon keturunan kepada Allah l pun
meminta agar Allah l menjadikan anaknya nanti sebagai anak yang shalih,
yang mendapatkan keridhaan Allah l. Beliau berdoa:
“Maka anugerahkanlah bagiku dari sisi-Mu seorang anak yang akan
mewarisiku dan mewarisi keluarga Ya’qub, dan jadikanlah dia, wahai
Rabbku, seorang yang diridhai.” (Maryam: 5-6)
Allah l pun mengabulkan permohonan Nabi Zakariyya q dengan memberikan seorang anak yang shalih:
“Wahai Zakariyya, sesungguhnya Kami memberimu kabar gembira dengan
lahirnya seorang anak yang bernama Yahya, yang belum pernah Kami
menciptakan seseorang yang serupa dengannya.” (Maryam: 7)
Begitu pula Nabi Ibrahim q, kekasih Allah l. Beliau berdoa untuk
kebaikan dirinya dan putranya Isma’il q beserta keturunan mereka tatkala
membangun fondasi Baitullah:
“Wahai Rabb kami, jadikanlah kami berdua orang-orang yang berserah
diri kepada-Mu dan jadikanlah pula keturunan kami sebagai orang-orang
yang berserah diri kepada-Mu.” (Al-Baqarah: 128)
Beliau q juga berdoa:
“Wahai Rabbku, jadikanlah aku dan keturunanku sebagai orang-orang
yang senantiasa mendirikan shalat. Wahai Rabbku, kabulkanlah doaku.”
(Ibrahim: 40)
Nabi Ibrahim q juga memohon kepada Allah l agar menjaga diri dan
keturunan beliau dari kemaksiatan terbesar kepada Allah l, yaitu
kesyirikan. Beliau q memohon:
“Dan jauhkanlah diriku beserta anak keturunanku dari penyembahan berhala.” (Ibrahim: 35)
Demikianlah yang dilakukan oleh para nabi. Mereka mendoakan anak cucu
mereka agar meraih masa depan yang baik dan terhindar dari hal-hal yang
membinasakan.
Rasulullah n, nabi dan rasul Allah l yang paling mulia, mencontohkan pula hal ini. ‘Umar bin Abi Salamah, putra Ummu Salamah c menuturkan:
“Turun ayat ini kepada Nabi n: ‘Sesungguhnya Allah ingin
menghilangkan dosa-dosa dari diri kalian wahai ahlul bait, dan
menyucikan kalian sesuci-sucinya’ di rumah Ummu Salamah. Maka Nabi n
memanggil Fathimah, Hasan dan Husain lalu menyelubungi mereka dengan
kain, dan ‘Ali di belakang beliau lalu beliau selubungi pula dengan
kain. Kemudian beliau berdoa, ‘Ya Allah, mereka adalah ahlu baitku, maka
hilangkanlah dosa-dosa dari mereka dan sucikanlah mereka
sesuci-sucinya’.” (HR. At-Tirmidzi no. 3787, dikatakan oleh Asy-Syaikh
Al-Albani v dalam Shahih Sunan At-Tirmidzi: shahih)
Beliau pernah pula mendoakan cucu beliau, Al-Hasan bin ‘Ali c. Diceritakan oleh Al-Bara` bin ‘Azib z:
“Aku pernah melihat Nabi n dalam keadaan menggendong Al-Hasan di atas
pundak beliau. Beliau mengatakan, ‘Ya Allah, sesungguhnya aku
mencintainya, maka cintailah dia’.” (HR. Al-Bukhari no. 3849 dan Muslim
no. 2422)
Beliau n juga seringkali mendoakan anak-anak para sahabat g. Usamah bin Zaid c menceritakan:
“Beliau n pernah memelukku bersama Al-Hasan lalu mendoakan, ‘Ya
Allah, sesungguhnya aku mencintai mereka berdua, maka cintailah
mereka’.” (HR. Al-Bukhari no. 3735)
Abdullah bin ‘Abbas c mengisahkan pula saat Rasulullah n
mendoakannya, setelah dia mengambilkan air wudhu untuk beliau. Dengan
doa Rasulullah n ini, Allah l memberikan ilmu yang luas kepadanya:
“Pernah suatu ketika Rasulullah n masuk ke tempat buang air. Lalu
kuletakkan air wudhu untuk beliau. (Ketika selesai) beliau pun bertanya,
“Siapa yang meletakkan ini?” Lalu beliau diberitahu (bahwa aku yang
melakukannya). Kemudian beliau mendoakan, ‘Ya Allah, berikanlah dia
pemahaman terhadap agama’.” (HR. Al-Bukhari no. 143 dan Muslim no. 2477)
Ibnu ‘Abbas c menjadi salah seorang ulama di kalangan sahabat.
Sampai-sampai ‘Umar ibnul Khaththab z menempatkannya bersama para tokoh
sahabat ketika Ibnu ‘Abbas masih belia. (Fathul Bari, 7/127)
Dalam kehidupan sahabat, ada Ummu Sulaim bintu Milhan x, ibu Anas bin
Malik z, yang begitu besar keinginannya agar anaknya mendapatkan
kehidupan yang baik di dunia dan akhirat. Dia serahkan sang anak untuk
melayani Rasulullah n dan meminta doa beliau n untuk anaknya. Anas bin
Malik z menceritakan:
“Nabi n pernah masuk ke rumah kami dan di situ hanya ada aku, ibuku
dan Ummu Haram bibiku. Ibuku mengatakan, ‘Wahai Rasulullah, ini pelayan
kecilmu. Doakanlah dia’. Kemudian beliau n memohonkan untukku segala
kebaikan, dan di akhir doa beliau untukku, beliau berkata, ‘Ya Allah,
banyakkanlah harta dan anaknya, serta berikanlah barakah kepadanya’.”
(HR. Muslim no. 2481)
Allah l mengabulkan doa beliau, hingga Anas bin Malik z mengatakan
tentang dirinya, “Hartaku sungguh banyak, sementara anak cucuku mencapai
sekitar seratus orang sekarang.” (HR. Muslim no. 2481)
Apabila orangtua merasakan beban kesempitan dan kesusahan karena ulah
anak-anak, hendaknya berlapang dada dan memaafkan, serta mendoakan agar
si anak mendapatkan kebaikan. Sesungguhnya doa orangtua termasuk doa
yang akan dikabulkan oleh Allah k. Tentang hal ini, Abu Hurairah z
menyampaikan bahwa Rasulullah n bersabda:
“Ada tiga doa yang pasti akan terkabul, tidak diragukan lagi: doa
orangtua, doa orang yang bepergian, dan doa orang yang didzalimi.” (HR.
Abu Dawud no. 1536, dikatakan oleh Asy-Syaikh Al-Albani v dalam Shahih
Sunan Abi Dawud: hasan)
Doa kebaikanlah yang semestinya dipanjatkan ketika itu, bukan cacian
atau bahkan doa kejelekan. Nabi n melarang kita mendoakan kejelekan
terhadap anak-anak. Jabir z mengatakan bahwa Rasulullah n pernah
bersabda:
“Jangan mendoakan kejelekan bagi diri kalian, jangan berdoa kejelekan
bagi anak-anak kalian, dan jangan pula berdoa kejelekan bagi harta
kalian. Jangan sampai ia bertepatan dengan saat Allah yang jika diminta
suatu permintaan saat itu pasti akan Dia kabulkan.” (HR. Muslim no.
3009)
Bisa jadi seseorang menepati saat dikabulkannya doa, hingga
dikabulkan permohonannya. Ini banyak terjadi ketika marah. Saat marah,
terkadang orang mendoakan kejelekan untuk dirinya, atau kadang pada
anaknya. Dia katakan, ‘Semoga Allah l membinasakanmu!’ atau ‘Semoga
Allah l memberikan balasan yang jelek kepadamu!’, ataupun yang semisal
itu. Sampai-sampai ada yang mendoakan anaknya agar mendapat laknat!
Nas`alullahal ‘afiyah. (Syarh Riyadhish Shalihin, 4/33)
Akibatnya, bukan semakin baik si anak, namun semakin rusak. Semakin
jauh dari kebenaran dan semakin suram pula masa depannya. Tak ada
kebahagiaan hidupnya di dunia, terancam pula kehidupannya di akhirat
kelak. Na’udzu billahi min dzalik!
Cukup sudah bagi kita, para orangtua, teladan yang termaktub dalam
Al-Kitab dan As-Sunnah. Semestinya kita menyadari, segala kebaikan anak
kita Allah l-lah yang memberikannya. Hingga semestinya pula kita
memulai untuk melazimi doa untuk kebaikan mereka.
Wallahu ta’ala a’lamu bish-shawab.
Kamis, 11 April 2013
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Cara Cepat Belajar Mengaji Al quran Untuk Pemula [Mudah dan Praktis] November 9, 2017 by Miqdad Nashr Belajar Mengaji – Kitab Al...
-
makalah model pembelajaran kooperatif Makalah Tentang Model Pembelajaran Kooperatif Bab I Pendahuluan A. Lata...
-
Cara Cepat Belajar Mengaji Al quran Untuk Pemula [Mudah dan Praktis] November 9, 2017 by Miqdad Nashr Belajar Mengaji – Kitab Al...
-
Pengertian Drama dan Teater Teater adalah istilah lain dari drama, tetapi dalam pengertian yang lebih luas, teater adalah pros...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar