Selasa, 25 Januari 2011

FIQIH TAHARAH

Thaharah secara etimilogi adalah membersihankan dan mensucikan dari kotoran-kotoran atau noda yang bersifat inderawi, seperti air kencing, atau juga kotoran ma'nawi seperti dosa dan perbuatan maksiat. Yang dimaksud dengan membersihkanan sesuatu di sini adalah menetapkan kebersihan sesuatu di tempat yang terkena kotoran.

Thaharah secara terminologi adalah memberisihkan sesuatu dari najis, baik berupa najis hakiki, yaitu najis dari kotoran-kotoran, atau hukmiyah, yaitu hadats. Menurut imam Nawawi bahwa thahârah adalah mengangkat kotoran-kotoran, atau menghilangkan najis, atau segala sesuatu yang sepadan dengan keduanya, atau sesuatu yang berbentuk seperti keduanya. Dari pengertian terakhir ini bearti masuk juga tayammum,  mandi-mandi sunnah dan memperbaharui wudu'.

Thahârah memiliki posisi penting dalam Islam, baik itu thahârah hakiki, yaitu mensucikan pakaian, badan, atau tempat shalat dari najis, ataukah thahârah hukmiyyah, yaitu membersihkan anggota badan yang harus terkena wudu' dari hadats, atau juga membersihkan seluruh badan karena junub.

Thahârah baik dari hadats kecil maupun hadats besar merupakan syarat utama sahnya shalat. Berhubung shalat adalah hubungan langsung antara hamba dengan Tuhannya, maka sudah menjadi keniscayaan seorang hamba untuk menghadap tuhan dengan kesucian. Tentu saja sebagai rasah hormat hamba terhadap Sang Pencipta.

Namun demikian, dalam tulisan ini kami hanya akan mencantumkan beberapa hal yang berkaitan dengan kotoran bagi wanita dan implikasinya dalam ibadah mahdhah.

Haid, Nifas dan Isthihadah

Darah yang keluar dari kubul wanita ada tiga macam, darah haid, yaitu darah yang keluar sementara wanita dalam keadaan sehat, darah istihâdhah, yaitu darah yang keluar sementara wanita dalam keadaan sakit, dan darah nifas, yaitu darah yang keluar ketika wanita sedang melahiran.

Pengertian haid

Haid secara etimologi adalah sesuatu yang mengalir. Secara terminologi adalah darah yang keluar dari pangkal rahim seorang wanita bukan karena melahirkan atau karena sakit, dan dengan batas-batas waktu tertentu. Biasanya darah haid berwarna kehitaman, panas dan ketika keluar terasa perih.

Dalam kaitanya dengan ini, Allah berfirman, “Mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah:"Haidh itu adalah suatu kotoran".(QS. 2:222). Juga disandarkan darii hadits Rasulullah SAW,  bahwa beliau bersabda, “Ini adalah sesuatu yang telah dituliskan Allah kepada waita anak turun Adam.”

Waktu haid.
Terkadang haid dimulai sejak wanita berumur sembilan tahun dan berakhir sampai pada usia manopause (berhenti haid). Jika terlihat darah sebelum atau sesudah umur tersebut, maka sesungguhnya itu adalah darah rusak, atau wanita sedang mengalami pendarahan.

Wanita yang sudah haid, bearti ia dianggap telah dewasa (akil baligh). Dengan demikian, ia telah memiliki kewajiban untuk melaksanakan semua beban syariat (mukallaf), seperti shalat, puasa, zakat, haji dll. Jika wanita sampai umur 15 tahun  belum juga haid, maka pada waktu itu ia dianggap telah dewasa.

Namun demikian para ulama berbeda pendapat mengenai batasan usia manopause dikarenakan tidak terdapat nash yang dapat dijadikan sebagai sandaran. Batasan usia manopause hanya berlandaskan pada penelitian dan analisa terhadap kondisi wanita.

Menurut Hanafiyah bahwa usia manopause sekitar 55 tahun, sementara  Malikiyah 70 tahun. Syafiiah sendiri berpendapat bahwasanya tidak ada batas maksimum bagi usia manopause. Selama wanita masih hidup, maka masih ada kemungkinan untuk haid. Hanya saja pada umumnya usia manopause sekitar 62 tahun. Hanbaliyah berpendapat bahwa usia manopause adalah 50 tahun. Hal ini berlandaskan pada perkataan Aisyah RA, “Jika wanita telah sampai umur 50 tahun maka ia telah keluar dari darah haid.” Ia juga berkata, “Kalian semua sama sekali tidak akan melihat seorang anak di perutnya setelah wanita berumur 50 tahun.

Batasan waktu haid.

Haid didahului dengan batasan minimum keadaan suci bagi wanita, yaitu menurut jumhur ulama 15 hari, dan juga sampai pada batasan minimum haid. Hanya saja mengenai batasan minimum ini terjadi selisih pendapat dikalangan para ulama. Jika darah keluar diluar batasan minimum waktu haid, atau sebaliknya keluar dari batasan maksimum maka darah tersebut disebut sebagai darah istihâdah.

Menurut Syafiiyah bahwa batasan minimum haid adalah satu hari satu malam (24 jam) secara sempurna. Maksudnya adalah, jika diletakkan kapas maka kapas tersebut akan tercemar. Dengan kata lain tidak disyaratkan banyaknya darah yang keluar. Namun yang terpenting adalah darah tersebut keluar secara kesinambungan atau juga secara terputus-putus dan dalam waktu yang telah ditentukan. Pada umumnya  haid berlangsung selama 6 atau 7 hari.

Pengertian nifas

Nifas adalah darah yang keluar dari kubul wanita setelah ia malahirkan. Adapun darah yang keluar sebelum atau ketika ia melahirkan, atau darah rusak (fasad) adalah darah istihadah.

Batas minimum nifas adalah sekejap mata (lahdah). Sebagian ulama berpendapat bahwa nifas tidak memiliki batas minimum melihat tidak ada keterangan yang pasti dari syariat. Nifas akan sangat kondisional bergantung kepada yang faktor biologis yang bersangkutan. Terkadang darah nifas cukup banyak, namun terkadang sangat sedikit dan bahkan ada yang tidak keluar darah nifas sama sekali. Diriwayatkan dalam sebuah hadits bahwa pada masa Rasulullah SAW ada seorang  waita melahirkan sementara ia tidak melihat darah nifas. Wanita itu kemudian dijuluki dengan “dzâtul jufûf”. Menurut Syafiiyah, biasanya nifas berlangsung selama 40  hari. Dan batasan maksimum nifas adalah 60 hari.

Implikasi haid dan nifas bagi wanita

Haid dan nifas bagi wanita mempunyai implikasi dalam tanggungan hukum syariat yaitu:
1.   Wajib mandi.
Jika wanita mengalami haid atau nifas, maka setelah darahnya berhenti mengalir ia wajib mandi. Hal ini didasarkan dari firman Allah, “Mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah:"Haidh itu adalah suatu kotoran". Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haidh; dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintakan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang taubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri. (QS. 2:222).
2.   Akil baligh (bulûgh)
Wanita haid dianggap telah dewasa (balìgh) serta telah menanggung beban syariat Bersabda Rasulullah SAW, “Allah tidak menerima shalat orang yang telah haid terkecuali denga menutup (auratnya)”.  
3.   Tidak mengandung
Wanita haid di masa iddah dianggap tidak mengandung. Sebagaimana telah diketahui bahwa sesungguhnya disyariatkan hukum iddah tersebut adalah untuk mengetahui apakah wanita mengandung ataukah tidak.
4.            Menurut pendapat Hanafiyah dan Hanbaliyah bahwa masa Iddah dihitung dari masa haid. Menurut mereka kata tiga qurû yang tertera dalam Al-Qur'an bearti masa haid.
5.            kaffarah dengan bersetubuh ketika dalam keadaan haid menurut hanbaliyah.

Hal-hal yang diharamkan bagi wanita haid atau nifas

1.   Masuk atau beri'tikaf di masjid.

Menurut jumhûr ulama bahwa wanita haid diharamkan masuk masjid. Sementara imam Ahmad berpendapat bahwa wanita haid yang berwudhu diperbolehkan masuk masjid. Pendapat pertama didasarkan pada firman Allah, “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan, (jangan pula hampiri masjid) sedang kamu dalam keadaan junub, terkecuali sekedar berlalu saja, hinggakamu mandi. (QS. 4:43). Juga dari hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud bahwa Rasululah SAW bersabda, “Sesungguhnya aku tidak menghalalkan masjid bagi waita haid dan tidak pula orang yang junub”. Juga hadits yang diriwayatkan Ibnu Majah dan Al Thabrani dari Ummi Salamah bahwa Nabi Muhammad SAW masuk ke dalam halaman masjid, kemudian beliau bersabda dengan suara keras “Bahwa Masjid tidak dihalalkan bagi wanita yang sedang haid atau junub”.

Masuk Majid diperkenankan dengan catatan memang ada sesuatu yang diperlukan. Konon para sahabat sering melewati Masjid untuk mengambil air. Hal ini dikarenakan tidak ada jalan lain dari rumah mereka selain melalui Masjid.

Dalam tafsirnya, Ibnu Katsir menyebutkan bahwa Nabi Muhammad SAW bersabda, “Tutuplah tiap-tiap pintu rumah yang berdampingan dengan Masjid terkecuali pintunya Abu Bakar. Dahulu pintu rumah para sahabat bersebelahan dengan jalan menuju Masjid. Dari sini, Rasulullah SAW memerintahkan mereka untuk menutupnya. Hanya saja, Nabi Muhammad SAW memberikan pengecualian kepada Abu Bakar karena beliau mengetahui bahwa Abu Bakar akan menjadi khalifah setelah wafatnya beliau. Sementara Abu Bakar akan selalu keluar masuk Masjid karena keperluan yang dibutuhkan.

Imam Ahmad berpendapat bahwa orang yang berwudhu diperbolehkan masuk Masjid. Hal ini didandarkan pada hadits yang diriwayatkan oleh Said bin Manshur yang menyebutkan bahwa para sahabat dahulu keluar masuk Masjid namun dalam keadaan suci dengan berwudu.

2. Menyentuh dan membawa mushaf

Jumhûr ulama mengatakan bahwa wanita haid atau nifas tidak diperkenankan (diharamkan) menyentuh mushaf atau membawanya. Sementara imam Abu Dawud dan ibnu Hazm berpendapat bahwa dibolehkan menyentuh dan membawa mushaf bagi wanita haid dan nifa.

Dalil-dalil yang dijadikan sandaran Jumhûr ulama adalah
1. firman Allah mengenai syarat thaharâh secara umum, “Pada kitab yang terpelihara (Lauhul Mahfuzh),. tidak menyentuhnya kecuali orang-orang yang disucikan. (QS. 56:78-79). Yang dimaksud dengan Al-Kitab dalam ayat tersebut adalah mushaf. Dan yang dimaksud dengan menyentuh adalah sentuhan inderawi

2.   Hadits Amru bin hazm di mana ia membawa surat dari Rasulullah ke Yaman di mana di dalamnya tertulis, “Bahwa Al-Qur'an tidak dapat disentuh terkecuali bagi orang yang suci”. 
3.   hadits marfu' yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Amr 'Tidak diizinkan menyentuh Al-Qur'an terkecuali kamu dalam dalam keadaan suci.”.

Sementara dalil yang digunakan ibnu Hazm dan Abu Dawud adalah hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim bahwa Rasulullah SAW mengirimkan surat
Hurqul yang di dalamnya tertulis, “Bismillahirrahmanirrahim”. Juga terdapat ayat Al-Qur'an yang berbunyi, “Katakanlah:"Hai Ahli Kitab, marilah (berpegang) kepada suatu kalimat (ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara kami dan kamu, bahwa tidak kita sembah kecuali Allah dan tidak kita persekutukan Dia dengan sesuatupun dan tidak (pula) sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai Ilah selain Allah.Jika mereka berpaling maka katakanlah kepada mereka:"Saksikanlah, bahwa kami adalah orang-orang yang berserah diri (kepada Allah)". (QS. 3:64).

3.            Membaca Al-Qur'an.
Wanita haid dan nifas diharamkan membaca Al-Qur'an . dalam hadit disebutkan, “Bahwa sesungguhnya Rasulullah SAW tidak melarag seseorang untuk membaca Al-Qur'an babi mereka yang tidak berjunub”. Juga hadit Nai yang diriwayatkan Sayyidina Ali bahwa ia berkata, “Aku melihat Rasulullah berwudu kemudian membaca sesuatu dari (ayat) Al-Qur'an, kemudian beliau bersabda, “Seperti inilah bagi orang yang tidak berjunub. Sedangkan bagi mereka yang junub tidak diperbolehkan meskipun hanya satu ayat.

Jika ia membaca Al-Qur'an dengan tujuan untuk memuji keagungan Tuhan, untuk berdoa, sebagai pembuka terhadap suatu perintah, sebagai pembuka dalam majlis ta'lim, isti'âdzah (minta perlindungan Allah), atau untuk berdzikir, maka bacaan seperti tidak diharamkan. Seperti ketika akan naik kendaraan kemudian ia membaca “subnalladzî sakhara lana hadza wamâ kunna lahû muqrinîn”. Ketika turun dari kendaraan membaca, “Wa qul rabbî anzilnî manzilan mubârakan”, dan ketika terkena musibah mengucapkan, “Innâ lillâhi wa innâ ilaihi rajiûn”.

Juga tidak diharamkan membaca Al-Qur'an karena ketidaksengajaan. Tidak diharamkan membaca basmalah, surat Al-Fatihah, dan ayat kursy dengan tujuan untuk berdzikir kepada Allah. Hal ini bersandarkan dari hadits yang diriwayatkan imam Muslim dari Aisyah bahwa ia berkata, “Adalah Rasulullah SAW selalu berdzikir kepada Allah dalam tiap saat”.

4. Berpuasa

Wanita haid dan nifas diharamkan menjalankan ibadah puasa.. Jika ia tetap melakukan ibadah puasa maka puasanya tidak dianggap. Selanjutnya ia harus mengqadha semua hari yang telah lalu pada waktu ia haid dan nifas. Namun demikian ia tidak diwajibkan mengqadha shala, karena shalat dikerjakan secara berulang-ulang. Hal ini dilandasi dari hadits yang diriwayatkan oleh jamaah dari Mu'adzah bahwa ia berkata, “Aku bertanya kepada Aisyah RA, aku mengatakan, “Megapa orang haid mengqadha puasa dan tidak mengqadha shalat? Maka beliau menjawab, “Seperti itu kami pernah mengalaminya ketika masih bersama dengan Rasulullah SAW, maka kami diperintahkan untuk mengqadha puasa dan tidak diperintahkan untuk mengqadha shalat.

4.            Thawaf, meskipun  sunnah.

Wanita haid dan nifas diharamkan berthawaf  di ka'bah, karena thawaf adalah shalat seperti sabda Nabi Muhammad SAW, “Hanya saja tahwaf di ka'bah adalah shalat. Jika kalian sedang berthawaf maka sedikitkanlah berbicara.” Juga perkataan Aisyaj RA, “Jika waita sedang haid, berbuatlah seperti yang diperbuat orang yang sedang menunaikan ibadah haji, namun kalian jangan berthawaf di ka'bah sehingga kalian bersuci (HR Muttafaqun alaihi).

5.            Bersetubuh.

Diharamkan bagi wanita haid dan nifas untuk besetubuh. Diriwayatkan dari hadits Anas bahwa  berkata, “Jika wanita orang Yahudi sedang haid, mereka tidak diberi makan dan tidak digauli”. Para sahabat bertanya mengenai masalah ini kepada Rasuullah SAW. Maka Allah menurunkan ayat berikut, “Mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah:"Haidh itu adalah suatu kotoran". Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haidh; dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintakan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang taubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri. (QS. 2:222). Kemudian Rasulullah SAW bersabda, “Berbuatlah apa saja terkecuali
menikah (bersetubuh)”. Dalam riwayat lain dikatakan “Terkecuali jima'” .

Berkata imam Nawami, “Jika seorang muslim berkeyakinan bahwa bersetubuh dengan istri yang sedang haid hukumnya halal, maka ia telah kafir dan murtad. Dan jika ia melakukannya bukan karena keyakinan bahwa perbuatan tersebut halal, dikarenakan ia lupa atau tidak tahu bahwa perbuatan tersebut diharamkan, atau karena ia tidak tahu jika wanita sedang haid, maka ia tidak berdosa dan tidak wajib kafarah. Dan jika ia melaksanakan secara sengaja sementara ia mengetahui bahwa istri sedang haid dan juga mengetaui hukumnya haram, maka ia telah melaksanakan suatu maksiat yang besar dan wajib bertaubat”.

Apakah mereka yang melakukan persetubuhan dengan istri yang sedang haid dan nifas harus membayar kafarah? Dalam hal ini ada dua pendapat, sebagian mewajibkan kaffârah dan sebagian lagi tidak. Namun, pendapat paing shahih adalah mereka yang mengatakan bahwa yang bersangkutan tidak tidak wajib kaffârah.

Menurut imam Nawawi, bahwa jika suami hanya sekedar bermain dengan istrinya antara atas pusar dan bawah lutut, hukumnya halal. Jika ia bermain antara pusar dan lutut selain kubul dan dubur, jumhûr ulama mengharamkannya. Namun demikian, imam Nawawi sendiri menghalalkannya dengan karâhah.

Dalil yang dijadikan landasan imam Nawawi adalah hadits yang diriwayatkan oleh istri-istri Nabi SAW, bahwa “Sesungguhnya Nabi SAW jika menginginkan dari istri-istrinya yang sedang haid, maka beliau akan melemparkan sesuatu diatas farjinya”. (HR Abu Dawud). Hadit lain yang diriwayatkan Masruq bin Ajda' bahwa ia berkata,  “Aku bertanya kepada Aisyah, “ Apa hak suami kepada istri jika ia sedang haid? Aisyah menjawab, 'Semuanya terkecuali farjinya”. (HR Bukhari)

6.   Talak

Diharamkan menjatuhkan talak kepada istri ketika ia sedang haid. Jika suami tetap mentalaknya, maka akan dianggap sebagai talak bid'i, karena dianggap telah memperpanjang masa iddah bagi wanita, serta telah menyalahi aturan Allah sebagaimana tercantum dalam firman-Nya, “Jika kamu semua (menjatuhkan) talak bagi  istri-istrimu maka talaklah karena iddah-iddah mereka”. Artinya diwaktu mereka dapat menjalani masa iddah. Karena sesungguhnya sisa masa haid tidak dianggap sebagai masa iddah. Dengan demikian hal ini dapat memberikan madharat bagi wanita dikarenakan masa penantian menjadi semakin panjang. Diriwayatkan dari Ibnu Umar bahwa ia menjatuhkan talak kepada istrinya pada waktu ia haid. Maka Umar mengadukan hal itu kepada Nabi SAW. Kemudian beliau bersabda, “Perintahkan kepadanya agar merujuk (istrinya) kemudian mentalaknya ketika ia telah suci, atau ia hamil”.

Pengertian ishtihadhah.

Ishtihadhah adalah darah yang mengalir dari ujung bawah rahim bukan pada waktu haid atau nifas karena sakit atau rusak (fasad). Setiap pendarahan bagi wanita sebelum waktu haid, yaitu umur 9 tahun, atau kurang dari batas minimum waktu haid, atau lebih dari bats maksimum waktu haid, atau batas maksimum nifas, atau lebih dari batasan normal bagi yang bersangkutan setiap bulannya, atau darah yang keluar pada waktu wanita hamil adalah darah istihadah.

Istihadah tidak berpengaruh terhadap tanggungan hukum syariat seperti shalat, puasa haji, iktikaf, tawaf, masuk masjid, membaca alquran bersetubuh. Menurut Syafiiyah bahwa wanita yang mengeluarkan darah isthadah hanya wajib berwudu tiap kali akan menjalankan shalat.Ia juga diperbolehkan ikut shalat janazah, atau shalat sunnah lainya. Hendaknya ia segera melaksanakan shalat setelah berwudu, terkecuali karena kebutuhan seperti menutup aurat, mendengar adzan dan iqamah, menanti waktu shalat jamaah, berijtihad dalam mencari arah qiblat, pergi ke masjid dll.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Cara Cepat Belajar Mengaji Al quran Untuk Pemula [Mudah dan Praktis] November 9, 2017   by  Miqdad Nashr Belajar Mengaji  – Kitab Al...