Kamis, 19 Desember 2013

filsafat

FILSAFAT ILMU


A. Pengertian Luas Maslahat
Maslahat secara etimologi berasal dari kata shalah, yang berarti manfaat.Setiap sesuatu yang memberikan manfaat secara langsung atau melalui perantara, dapat disebut maslahat.Menurut para ahli ushul, manfaat (utility) itu bisa diperoleh melalui dua kategori, yaitu jalbu almashalih upaya untuk menghasilkan maslahat) dan dar’u al-mafasid yang berarti menolak bahaya atau kerusakan.[1]
Menurut Imam Syatibi, maslahat bisa dipandang valid dalam syariah (mu’tabarah) selama ia tidak bertentangan dengan maqaasid syarii’ah yaitu : memelihara agama, jiwa, akal, keturunan dan harta.(3 Salah satu argumen yang memperkuat pendapat Imam Syatibi ini ialah satu kaidah yang menyatakan bahwa syariat Allah diturunkan demi kemaslahatan umat manusia. Kaidah ini memberikan suatu pengertian bahwa semua hukum yang telah ditetapkan oleh syariat mempunyai nilai maslahat.(4 Maslahat dalam kaitan ini sudah barang tentu bukan maslahah mutlaq yang memasukkan pengertian maslahat menurut filosof, sebab maslahat menurut versi mereka hanya terbatas pada dimensi material dan cenderung bersifat duniawi (worldly concerns).
Maslahat dalam kacamata syariat adalah maslahat yang bukan berdimensi material dan duniawi saja, tetapi juga berdimensi spiritual dan concern dengan masalah-masalah ukh-rawi. DR. Said Ramadhan Al- Buthy, menjelaskan dengan panjang lebar kriteria maslahah menurut syari’ah. Beliau menyimpulkan bahwa maslahat mempunyai tiga kriteria:
  1. Maslahat harus mengandung dua dimensi masa, yaitu dunia dan akhirat. Dalam istilah singkatnya bisa disebut sebagai maslahat yang berwawasan dunia dan akhirat. Bagi orang-orang yang tidak beriman, kehidupan akhirat dipandang absurd atau kadang-kadang dipahami sebagai kehidupan yang fatamorganik. Untuk itu mereka sering mengabaikan maslahah yang bersifat ukhrawi. Bagi orang-orang yang beriman, kehidupan akhirat dipandang sebagai kelanjutan dari kehidupan dunia. Karenanya mereka meyakini adanya maslahat atau manfaat yang bersifat ukhrawi, sebagaimana halnya mereka merasakan maslahat duniawi.
  2. Maslahat tidak hanya terbatas pada sisi dan norma material semata, tetapi juga harus mengandung norma spiritual agar maslahat tersebut bisa memenuhi kebutuhan jasmani dan rohani. Sebagian Filosof menentang adanya maslahat rohaniah (yang bersifat spiritual). Karena maslahat rohani menurut pandangan mereka akan terwujud dengan sendirinya jika kebutuhan jasmani terpenuhi.[2]
Kebanyakan filosof tidak mempercayai maslahat yang bersifat spiritual ini.Karena itu setiap maslahat atau manfaat yang tidak bisa dinikmati secara material tidaklah disebut sebagai maslahat.Sejak jaman dulu semua orang mengerti bahwa riba itu tidak dilegalkan oleh agama.Tapi setelah mereka tahu bahwa ternyata riba mendatangkan keuntungan (kemaslahatan material), maka akhirnya mereka membolehkan riba demi untuk memenuhi kebutuhan jasmani yang bersifat material.Hal itu dikuatkan oleh analisa para ekonom.
  1. Norma maslahat yang ditetapkan oleh agama merupakan dasar pijakan bagi maslahat-maslahat lainnya. Semua maslahat harus menginduk pada norma agama. Dan apabila pertentangan antara suatu kemaslahatan (baca: maslahat yang mutlak) dengan kemaslahatan agama, maka maslahat agama harus didahulukan demi menjaga dan melestarikan eksistensi agama. Pertentangan dimaksud tentunya berupa pertentangan antar norma. Norma atau nilai yang terdapat dalam maslahat agama berorentasi pada pandangan-pandangan yang telah digariskan oleh Al-Qur’an dan Sunah Nabi. Sedang norma kemaslahatan non agama tentu terlepas dari pandangan-pandangan keagamaan.
  1. 1. Maslahat dan Maqasid Syari’ah
Maqasid syari’ah sebagaimana telah disepakati oleh para ulama, adalah menjaga lima aspek yang sangat vital dalam kehidupan ma-nusia. Kelima aspek itu ialah memelihara agama, jiwa, akal, keturunan dan harta.Sedangkan hubungan antara maqasid dengan maslahat adalah hubungan simbiosis.Artinya, segala sesuatu yang bertujuan menjaga maqasid syariah dapat disebut maslahat.Dan sebaliknya, segala sesuatu yang mengarah kepada pelecehan maqasid syariah disebut mafsadah.
Maqasid syariah selalu sejalan dan beriringan dengan maslahat.Di mana maqasid syariah ditemukan, di situ pula terdapat maslahat.Maqasid syariah sesuai dengan tingkat urgensinya terbagi menjadi tiga macam yaitu Dharuriyat, Hajiyyat dan Tahsiniyat.[3]
  1. Dharuriyat. Telah disinggung di atas, yaitu memelihara lima hal yang kemudian dalam terminologi ushul fiqh disebut dengan kulliyat khamsah.
  2. Hajiyat yang dalam ushul fiqh merupakan far’ dari dharuriyat. Karenanya, hajiyat lebih cenderung bersifat komplementer mengingat bahwa Maqasid syariah sebenarnya bisa terwakili oleh dharuriyat.
Akan tetapi bila maqasid syariah hanya terbatas pada dharuriyat maka seorang mukalaf akan merasa sangat berat dan selalu diliputi kondisi yang sulit lagi sempit. Agar perasan sempit dan berat ini bisa dijauhkan maka syariah menetapkan maqasid kedua yaitu hajiyat. Dengan kata lainhajiyat merupakan suatu unsur untuk memperingan taklif yang termaktub dalam dharuriyat. Untuk menjaga eksistensi agama, dharuriyat menetapkan kewajiban beribadah.Kemudian agar seorang mukalaf tidak merasa sempit dan berat, hajiyat menetapkan rukhshah (dispensasi) dalam ibadah, seperti dibolehkannya berbuka puasa ketika bepergian atau sakit.
Demikian juga untuk memelihara kelangsungan hidup (hifzh al-nafs), hajiyat membolehkan berburu dan memakan hewan-hewan yang halal dan untuk menjaga harta, hajiyat membolehkan akad salam(pesanan), qiradl (memutar modal dengan membagi keuntungan bersama).
  1. Bagian ketiga dari maqasid syariah adalah tahsiniyat. Menurut ulama ushul, tahsiniyat ini sering disebut sebagai penghias atau sesuatu yang memperindah hukum-hukum Islam. Karena tahsiniyat itu didasarkan pada nilai etika dan pertimbangan adat yang positif, maka tahsiniyat yang ada hubungannya dengan masalah agama adalah tahsiniyat yang berupa hukum-hukum yang menyangkut barang-barang najis dan suci dan hukum-hukum yang menetapkan tentang kewajiban menutup aurat.
Sedangkan tahsiniyat yang berhubungan dengan masalah jiwa adalah menjauhi makanan-makanan yang khabits (tidak layak untuk dimakan). Dan tahsiniyat yang berhubungan dengan masalah harta adalah seperti larangan untuk menjual barang-barang najis dan berlebih-lebihan dalam menggunakan air.
Adapun dalam kaitannya dengan maqasid syariah, maslahat itu terbagi menjadi dua macam yaitu, maslahah yang sesuai dengan maqasid syariah dan maslahah yang tidak sesuai.Maslahat yang sesuai dengan maqasid syariah itu disebut dengan maslahah hakikiyah atau mu’tabarah (sesuai dengan pandangan syariah).

B. Pengertian Maslahat Sekunder (Kebutuhan Hajiyat)
Kebutuhan Hajiyat adalah Segala sesuatu yang sangat dihajatkan oleh manusia untuk menghilangkan kesulitan dan menolak segala halangan. Artinya, ketiaadaan aspek hajiyat ini tiadak akan sampai mengancam eksistensi kehidupan manusia menjadi rusak, melainkan hanya sekedar menimbulkan kesulitan dan kesukaran saja.[4]
Prinsip utama dalam aspek hajiyat ini adalah untuk menghilangkan kesulitan, meringankan beban taklif dan memudahkan urusan mereka. Untuk maksud ini, Islam menetapkan sejumlah ketentuan dalam beberapa bidang muamalat dan ‘uqubat ( pidana ). Hal ini dapat dijelaskan lagi dalam contoh-contoh berikut ini
Dalam bidang ibadah, Islam memberikan rukhshah (dispensasi) dan keringanan bila seseorang mukallaf mengalami kesulitan dalam menjalankan suatu kewajiban ibadahnya, misalnya diperbolehkannya seseorang tidak berpuasa dalam bulan Ramadhan karena ia dalam bepergian atau sakit. Begitu pula bolehnya seseorang mengqasarkan shalat bila ia sedang dalam bepergian dan bertayamum sebagai ganti wudhu atau mandi besar dari haid, junub ketika ketiadaan air bersih atau tidak dapat menggunakan air. Seperti tertera dalam ayat suci Al Qur’an, yaitu :
Arti nya :
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan, (jangan pula hampiri mesjid) sedang kamu dalam keadaan junub, terkecuali sekedar berlalu saja, hingga kamu mandi. Dan jika kamu sakit atau sedang dalam musafir atau datang dari tempat buang air atau kamu telah menyentuh perempuan, kemudian kamu tidak mendapat air, maka bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik (suci); sapulah mukamu dan tanganmu. Sesungguhnya Allah Maha Pema’af lagi Maha Pengampun. ( Q S An Nisa’ 43)

Dalam bidang mu’alat, antara lain Islam membolehkan jual-beli pesanan ( istishna’) dan jual-beli salam (jual beli di mana barang yang di beli tidak langsung ketika pembayaran dilakukan, melainkan kemudian nya, sebab barang yang di beli itu tidak berada di tempat ketika transaksi di lakukan). Begitu juga dibolehkan seorang suami mentalak istrinya apabila rumah tangga mereka benar-benar tidak mendapatkan ketentraman lagi. Diperkenankannya system bagi hasil antara petani yang tidak memiliki sawah ladang dengan si pemilik sawah ladang adalah salah satu bentuk lain dari apa yang di sebut sebagai al-umur al-hijayat ini. Seperti pada Al Qur an surat At Taubah ayat 111 yang terkandung di bawah ini :
Artinya : Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang mukmin diri dan harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka. Mereka berperang pada jalan Allah; lalu mereka membunuh atau terbunuh. (Itu telah menjadi) janji yang benar dari Allah di dalam Taurat, Injil dan Al Quran. Dan siapakah yang lebih menepati janjinya (selain) daripada Allah? Maka bergembiralah dengan jual beli yang telah kamu lakukan itu, dan itulah kemenanganyangbesar.
Dalam bidang ‘uqubat, Islam menetapkan kewajiban membayar denda (Diat) bukan Qisas bagi orang yang melakukan pembunuhan secara tidak sengaja, menawarkan hak pengampunan bagi orang tua korban pembunuhan terhadap orang yang membunuh anak nya dan lain sebagai nya.[5] Sebagaimana yang tertera dalam Al Qur’anul Karim yaitu :
Artinya :
Dan tidak layak bagi seorang mukmin membunuh seorang mukmin (yang lain), kecuali karena tersalah (tidak sengaja), dan barangsiapa membunuh seorang mukmin karena tersalah (hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman serta membayar diat/denda yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh itu), kecuali jika mereka (keluarga terbunuh) bersedekah. Jika ia (si terbunuh) dari kaum (kafir) yang ada perjanjian (damai) antara mereka dengan kamu, maka (hendaklah si pembunuh) membayar diat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh) serta memerdekakan hamba sahaya yang beriman. Barangsiapa yang tidak memperolehnya, maka hendaklah ia (si pembunuh) berpuasa dua bulan berturut-turut untuk penerimaan taubat dari pada Allah. Dan adalah Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.
(Q S Israa ayat 92 ).
C. TUJUAN KEBUTUHAN SEKUNDER  (MASLAHAT HIJAYAT)
Tujuan tingkat “sekunder” bagi kehidupan manusia ialah sesuatu yang dibutuhkan bagi kehidupan manusia, tetapi tidak mencapai tingkat dharuri. Seandainya kebutuhan itu tidak terpenuhi  dalam kehidupan manusioa, tidak akan meniadakan atau merusak kehidupan itu sendiri. Meskipun tidak sampai akan merusak kehidupan, namun keberadaannya dibutuhkan untuk memberikan kemudahan dalam kehidupan. Tujuan penetapan hukum syara’ dalam bentuk ini di sebut tingkat hajiyat.
Tujuan hajiyat dari segi penetapan hukum nya dikelompokkan pada tiga kelompok,[6] yaitu :
  1. Hal yang di suruh syara’ melakukannya untuk dapat melaksanakan kewajiban syara’ secara baik. Hal ini disebut muqaddimah wajib. Umpamanya mendirikan sekolah dalam hubungannya dengan menuntut ilmu untuk meningkatkan kualitas akal. Mendirikan sekolah memang perlu, namun seandainya sekolah tidak didirikan tidaklah berarti tidak akan tercapai upaya mendapatkan ilmu, karena menuntut ilmu itu dapat dilaksanakan di luar sekolah. Kebutuhan akan sekolah itu berada pada tingkat hajiyat.
Hal yang di larang syara’ melakukannya untuk menghindarkan secara tidak, langsung pelanggaran pada salah satu unsur yang dharuri. Namun segala perbuatan yang menjurus kepada perbuatan zina itu juga dilarang untuk menutup pintu bagi terlaksananya larangan zina yang dharuri itu. Melakukan khalwat (berduaan dengan lawan jenis di tempat ) memang bukan zina dan tidak akan merusak keturunan. Juga tidak mesti khalwat itu berakhir dengan zina. Meskipun demikian, Khalwat itu di larang dalam rangka menutup pintu terhadap pelanggaran larangan yang bersifat dharuri. Kepentingan akan adanya tindakan untuk menjauhi larangan ini berada pada tingkat hajiyat.
Sebagaimana yang tertera pada surat Al Israa ayat 32 yang menjelaskan bahwa larangan berzina, yaitu
Artinya : Dan janganlah kamu mendekati zina. Sesungguhnya zina itu adalah suatu   perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk. ( QS Al Isra : 32 )

2.  Segala bentuk kemudahan yang termasuk hukum rukhsah (kemudahan ) yang memberi kelapangan dalam kehidupan manusia. Sebenarnya tidak ada rukhsah pun tidak akan hilang salah satu unsur yang dharuri itu, tetapi manusia akan berada dalam kesempitan (kesulitan). Rukhshah ini berlaku dalam hukum ibadat seperti sholat bagi yang berada dalam perjalan; dalam muamalat seperti adanya maaf untuk membatalkan pelaksanaan qishah bagi pembunuh, baik di ganti dengan diyat (denda) atau tanpa diyat sama sekali.

maslahat 2

PENGERTIAN QAWAID FIQHIYYAH DAN QAWAID USHULIYYAH

Pendahuluan
Alhamdulillah, segala puji bagi Allah SWT. Kami memuji, memohon pertolongan dan ampunan serta perlindungan kepada-Nya dari kejahatan jiwa dan keburukan amal perbuatan. Barang siapa diberi petunjuk oleh Allah SWT, tak seorang pun dapat menyesatkannya dan barang siapa disesatkan-Nya, tak seorang pun dapat memberinya petunjuk. Aku bersaksi tiada tuhan selain Allah dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya.
Sehubungan dengan tugas mata kuliah Ushul Fiqh II, kami telah menyelesaikan makalah yang berjudul Pengertian Qawaid Fiqhiyyah dan Qawaid Ushuliyyah. Makalah ini disusun dengan mengacu kepada referensi-referensi yang ada, dengan susunan isi makalah antara lain :
1. : Pendahuluan
2. : Pengertian Al-Qawâ’id al-Fiqhiyah
3. : Pengertian Qaidah Ushuliyyah
4. : Beberapa Contoh Qaidah Ushuliyyah
5. : Kegunaan Kaidah Fikih
6. : Perbedaan antara Qawaid Ushuliyyah dan Qaidah Fiqih
7. : Kitab-Kitab Qaidah Fiqh
8. : Daftar Pustaka
2. Pengertian Al-Qawâ’id al-Fiqhiyah
Al- Qawâ’id merupakan jamak dari qaidah (kaidah). Para ulama mengartikan qaidah secara etimologi (asal usul kata) dan terminologi (istilah). Dalam arti bahasa, qaidah bermakna asas, dasar, atau fondasi, baik dalam arti yang konkret maupun yang abstrak, seperti kata-kata qawâ’id al-bait, yang artinya fondasi rumah, qawâ’id al-dîn, artinya dasar-dasar agama, qawâ’id al-îlm, artinya kaidah-kaidah ilmu. Arti ini digunakan di dalam Al-qur’an surat Al-Baqarah ayat 127 dan surat an-Nahl ayat 26 :
……......
“Dan ingatlah ketika Ibrahim meninggikan dasar-dasar Baitullah bersama Ismail........” (QS. Al-Baqarah : 127).



“.......Allah menghancurkan bangunan mereka dari fondasi-fondasinya........” (QS. An-Nahl : 26)
Dari kedua ayat tersebut bisa disimpulkan arti kaidah adalah dasar, asas atau fondasi, tempat yang diatasnya berdiri bangunan.[1]
Sedangkan arti fiqhiyah diambil dari kata fiqh yang diberi tambahan ya’ nisbah yang berfungsi sebagai penjenisan atau membangsakan. Secara etimologi makna fiqh lebih dekat dengan makna ilmu sebagaimana yang banyak dipahami oleh para sahabat, makna tersebut diambil dari firman Allah SWT dalam surat At-Taubah ayat 122 :







……......


untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama”
Hadist Nabi SAW : “Barang siapa dikehendaki baik oleh Allah maka akan dimudahkan dalam urusan agama” (HR. Bukhari Muslim)
Maka Al-Qawâ’id al-Fiqhiyah (kaidah-kaidah fiqh) secara etimologis adalah dasar-dasar atau asas-asas yang berkaitan dengan masalah-masalah atau jenis-jenis fikih.[2]
Para ulama berbeda dalam mendefinisikan kaidah secara terminologi (istilah). Ada yang meluaskannya dan ada yang mempersempitkannya. Akan tetapi, substansinya tetap sama.
Sebagai contoh, Muhammad Abu Zahrah mendefinisikan kaidah dengan :
“Kumpulan hukum-hukum yang serupa yang kembali kepada qiyas/analogi yang mengumpulkannya”[3]
Sedangkan Al-Jurjani mendefinisikan kaidah fikih dengan :
”Ketetapan yang kulli (menyeluruh, general) yang mencakup seluruh bagian-bagiannya”[4]
Imam Tajjuddin al-Subki (w.771 H) mendefinisikan kaidah dengan :
”Kaidah adalah sesuatu yang bersifat general yang meliputi bagian yang banyak sekali, yang bisa dipahami hukum bagian tersebut dengan kaidah tadi”[5]
Bahkan Ibnu Abidin (w. 1252 H) dalam muqaddimah-nya, dan Ibnu Nuzaim (w. 970 H) dalam kitab al-asybâh wa al-nazhâir dengan singkat mengatakan bahwa kaidah itu adalah :
”Sesuatu yang dikembalikan kepadanya hukum dan dirinci dari padanya hukum”[6]
Sedangkan menurut Imam al-Suyuthi di dalam kitabnya al-asybâh wa al-nazhâir, mendefinisikan kaidah : ”Hukum kulli (menyeluruh, general) yang meliputi bagian-bagiannya”[7]
Dari definisi-definisi tersebut di atas, jelas bahwa kaidah itu bersifat menyeluruh yang meliputi bagian-bagiannya dalam arti bisa diterapkan kepada juz’iyat-nya (bagian-bagiannya).
Kaidah-kaidah fikih yaitu kaidah-kaidah yang disimpulkan secara general dari materi fikih dan kemudian digunakan pula untuk menentukan hukum dari kasus-kasus baru yang timbul, yang tidak jelas hukumnya di dalam nash.
3. Pengertian Qaidah Ushuliyyah
Ushul Fiqh berasal dari dua kata, yaitu kata ushl bentuk jamak dari Ashl dan kata fiqh. Ashl secara etimologi diartikan sebagai “fondasi sesuatu, baik yang bersifat materi ataupun bukan”.
Adapun menurut istilah, Ashl mempunyai beberapa arti :
a. Dalil, yakni landasan hukum, seperti pernyataan para ulama ushul fiqh bahwa ashl dari wajibnya shalat lima waktu adalah firman Allah SWT dan Sunnah Rasul.
b. Qa’idah, yaitu dasar atau fondasi sesuatu, seperti sabda Nabi Muhammad SAW : ”Islam itu didirikan atas lima ushul (dasar atau fondasi)”.
c. Rajih, yaitu yang terkuat, seperti dalam ungkapan para ahli ushul fiqih : ”Yang terkuat dari (isi/kandungan) suatu hukum adalah arti hakikatnya”.
Maksudnya, yang menjadi patokan dari setiap perkataan adalah makna hakikat dari perkataan tersebut.
d. Mustashhab, yakni memberlakukan hukum yang sudah ada sejak semula selama tidak ada dalil yang mengubahnya. Misalnya, seseorang yang hilang, apakah ia tetap mendapatkan haknya seperti warisan atau ikatan perkawinannya? Orang tersebut harus dinyatakan masih hidup sebelum ada berita tentang kematiannya. Ia tetap terpelihara haknya seperti tetap mendapatkan waris, begitu juga ikatan perkawinannya dianggap tetap.
e. Far’u (cabang), seperti perkataan ulama ushul : ”Anak adalah cabang dari ayah” (Abu Hamid Al-Ghazali)
Dari kelima pengertian ashl di atas, yang biasa digunakan adalah dalil, yakni dalil-dalil fiqih.
Maka qaidah ushuliyyah adalah dalil syara’ yang bersifat menyeluruh, universal dan global (kulli dan mujmal). Qaidah ushuliyyah merupakan sejumlah peraturan untuk menggali hukum. Qaidah ushuliyyah umumnya berkaitan dengan ketentuan dalalah lafazh atau kebahasaan.
Qaidah ushuliyyah berfungsi sebagai alat untuk menggali ketentuan hukum yang terdapat dalam bahasa sumber hukum. Menguasai qaidah ushuliyyah dapat mempermudah faqih untuk mengetahui hukum Allah dalam setiap peristiwa hukum yang dihadapinya.
Dengan demikian di dalam hukum islam ada dua macam kaidah, yaitu :
Pertama, kaidah-kaidah ushul fiqh, yang kita temukan di dalam kitab-kitab ushul fiqh, yang digunakan untuk mengeluarkan hukum (takhrîj al-ahkâm) dari sumbernya, Al-qur’an dan/atau Al-hadist.
Kedua, kaidah-kaidah fikih, yaitu kaidah-kaidah yang disimpulkan secara general dari materi fikih dan kemudian digunakan pula untuk menentukan hukum dari kasus-kasus baru yang timbul, yang tidak jelas hukumnya di dalam nash.
Oleh karena itu baik kaidah-kaidah ushul fiqh maupun kaidah-kaidah fikih, bisa disebut sebagai metodologi hukum islam, hanya saja kaidah-kaidah ushul sering digunakan di dalam takhrîj al-ahkâm, yaitu mengeluarkan hukum dari dalil-dalilnya (Al-qur’an dan Sunnah). Sedangkan kaidah-kaidah fikih sering digunakan di dalam tathbîq al-ahkâm, yaitu penerapan hukum atas kasus-kasus yang timbul di dalam bidang kehidupan manusia.
4. Beberapa Contoh Qaidah Ushuliyyah
Untuk mengenal qaidah ushuliyyah lebih jauh, di bawah ini disebutkan beberapa qaidah ushuliyyah :
a. Kaidah :
Bila dalil yang menyuruh bergabung dengan dalil yang melarang maka didahulukan dalil yang melarang
b. Kaidah :
”Petunjuk perintah (amr) menunjukkan wajib”
c. Kaidah :
”Makna implisit (kabur, gelap) tidak dijadikan dasar bila bertentangan dengan makna eksplisit (terang, tegas)”
d. Kaidah :
”Petunjuk nash didahulukan daripada petunjuk zahir”
e. Kaidah :
”Tidak dibenarkan berijtihad dalam masalah yang ada nash-nya”
f. Kaidah :
”Perintah terhadap sesuatu berarti larangan atas kebalikannya”
5. Kegunaan Kaidah Fikih
Berbagai ungkapan para ulama tentang kepentingan dan manfaat dari kaidah-kaidah fikih, antara lain :
a. Dengan mengetahui kaidah-kaidah fikih kita akan mengetahui asas-asas umum fikih. Sebab, kaidah-kaidah fikih itu berkaitan dengan materi fikih yang banyak sekali jumlahnya.
b. Dengan memperhatikan kaidah-kaidah fikih akan lebih mudah menetapkan hukum bagi masalah-masalah yang dihadapinya, yaitu dengan memasukkan masalah tadi atau menggolongkannya kepada salah satu kaidah fikih yang ada.
c. Dengan kaidah fikih akan lebih arif di dalam menerapkan fikih, dalam waktu dan tempat yang berbeda untuk keadaan dan adat kebiasaan yang berlainan.
d. Dengan menguasai kaidah-kaidah fikih, bisa memberikan jalan keluar dari berbagai perbedaan pendapat di kalangan ulama, atau setidaknya menguatkan pendapat yang lebih mendekati kepada kaidah-kaidah fikih.
e. Dengan mengetahui kaidah-kaidah fikih akan mengetahui rahasia-rahasia dan semangat hukum-hukum islam (rûh al-hukm) yang tersimpul di dalam kaidah-kaidah fikih.
f. Orang yang menguasai kaidah-kaidah fikih di samping kaidah-kaidah ushul, akan memiliki keluasaan ilmu dan hasil ijtihadnya akan lebih mendekati kepada kebenaran, kebaikan dan keindahan.
6. Perbedaan antara Qawaid Ushuliyyah dan Qaidah Fiqih
Perbedaan pokok antara qawaid ushuliyyah dan qaidah fiqih, adalah sebagai berikut :
a. Objek qawaid ushuliyyah adalah dalil hukum, sedangkan qaidah fiqih adalah perbuatan mukallaf.
b. Ketentuan qawaid ushuliyyah berlaku bagi seluruh juziyyah, sedangkan qaidah fiqih berlaku pada sebagian besar (aghlab) juziyyah.
c. Qawaid ushuliyyah, sebagai saran istinbath hukum, sedangkan qawaid fiqih sebagai usaha menghimpun dan mendekatkan ketentuan hukum yang sama untuk memudahkan pemahaman fiqih.
d. Qawaid ushuliyyah bisa bersifat prediktif, sedangkan qawaid fiqih bersifat wujud setelah ketentuan furu’
e. Qawaid ushuliyyah bersifat kebahasaan dan qaidah fiqih bersifat ukuran.
7. Kitab-Kitab Qaidah Fiqh
a) Kitab-Kitab Qaidah Fiqh Mazhab Hanafi
- Ushul al-Karkhi, Abu Hasan al-Karkhi (260-340 H) memuat 37 kaidah fikih.
- Ta’sis al-Nazhar, Abu Zaid al-Dabusi (w. 430 H) memuat 86 kaidah fikih.
- Al-Asybah wa al-Nazhair, Ibnu Nuzaim (w. 970 H) memuat 25 kaidah fikih.
- Majami’ al-Haqaiq, Abi said al-Khadimi memuat 154 kaidah fikih.
- Majalah al-Ahkam al-Adliyah, Ahmad Udat Basya memuat 99 fikih.
b) Kitab-Kitab Qaidah Fiqh Mazhab Maliki
- Ushul al-Futiya fi al-Fiqh ’ala Mazhab al-Imam Malik, Ibnu Haris al-Husyni (w. 361 H)
- Al-Furuq, al-qurafi (w. 684 H) memuat 548 kaidah fikih.
- Al-Qawa’id, al-Maqari (w. 758 H) memuat 758 kaidah fikih.
- Idhah al-Masalik ila Qawa’id al-Imam Malik, al-Winsyarisi (w. 914 H) memuat 118 kaidah fikih.
c) Kitab-Kitab Qaidah Fiqh Mazhab al-Syafi’i
- Qawa’id al-Ahkam fi Mashalih al-Anam, Izzuddin bin Abd al-Salam (577-660 H).
- Al-Asybah wa al-Nazhair, Ibnu al-Wakil (w. 716 H).
- Al-Majmu al-Mudzhab fi Qawa’id al-Mazhab, Abu Sa’id al-Ala’i (w. 761 H).
- Al-Asybah wa al Nazhair, Taj al-Din Ibnu al-Subki (w. 771 H).
- Al-Mansur fi Tartib al-Qawa’id al-Fiqhiyah atau al-Qawa’id fi al Furu, al-Zarkasyi (w. 794 H).
- Al-Asybah wa al-Nazhair, Imam al-Suyuthi (w. 911 H) memuat 20 kaidah.
- Al-Istighna fi al-Farqi wa al-Istitsna, Badrudin al-Bakri.
d) Kitab-Kitab Qaidah Fiqh Mazhab Hanbali
- Al-Qawa’id al-Nuraniyah al-Fiqhiyah, Ibnu Taimiyah (661-728 H).
- Al-Qawa’id al-Fiqhiyah, Ibnu Qadhi al-Jabal (w. 771 H).
- Taqrir al-Qawaid wa Tahrir al-Fawaid, Ibnu Rajab al-Rahman memuat 160 kaidah.
- Al-Qawa’id al-Kulliyah wa al-Dhawabith al-Fiqhiyah, Ibnu Abd al-Hadi (w. 909 H).
Pada masa sekarang banyak kitab-kitab kaidah yang ditulis, seperti :
- al-Qawa’id al-Fiqhiyah oleh Ali Ahmad al-Nadwi.
- Syarh al-Qawa’id al-fiqhiyah oleh Syekh Ahmad bin Syekh Muhammad Zarqa.
- Al-Wajiz fi Idhah Qawa’id al-Fiqh al-Kuliyyah oleh Muh. Shiddieqy bin Ahmad al-Burnu.
- Idhah al-Qawa’id al-Fiqhiyah oleh Syekh Abdullah bin Said Muhammad Ibadi.
- Kaidah-kaidah Fikih oleh Asymuni A Rahman (dalam Bahasa Indonesia).
- Kaidah Fikih oleh Jaih Mubarok (dalam Bahasa Indonesia).

Kamis, 05 Desember 2013

bab Zina 3

Berikut ini adalah beberapa akibat buruk dan bahaya zina:
  • Dalam zina terkumpul bermacam-macam dosa dan keburukan, yakni berkurangnya agama si pezina, hilangnya sikap menjaga diri dari dosa, kepribadian buruk, dan hilangnya rasa cemburu.
  • Zina membunuh rasa malu, padahal dalam Islam malu merupakan suatu hal yang sangat diperdulikan dan perhiasan yang sangat indah dimiliki perempuan.
  • Menjadikan wajah pelakunya muram dan gelap.
  • Membuat hati menjadi gelap dan mematikan sinarnya.
  • Menjadikan pelakunya selalu dalam kemiskinan atau merasa demikian sehingga tidak pernah merasa cukup dengan apa yang diterimanya.
  • Akan menghilangkan kehormatan pelakunya dan jatuh martabatnya baik di hadapan Allah maupun sesama manusia.
  • Tumbuhnya sifat liar di hati pezina, sehingga pandangan matanya liar dan tidak terarah.
  • Pezina akan dipandang oleh manusia dengan pandangan muak dan tidak dipercaya.
    Seorang perempuan yang dihukum cambuk karena berzina.
  • Zina mengeluarkan bau busuk yang mampu dideteksi oleh orang-orang yang memiliki hati yang bersih melalui mulut atau badannya.
  • Kesempitan hati dan dada selalu dirasakan para pezina. Apa yang dia dapatkan dalam kehidupan adalah kebalikan dari apa yang diinginkannya. Dikarenakan orang yang mencari kenikmatan hidup dengan cara yang melanggar perintah Allah, maka Allah akan memberikan yang sebaliknya dari apa yang dia inginkan, dan Allah tidak menjadikan larangannya sebagai jalan untuk mendapatkan kebaikan dan kebahagiaan.
  • Pezina telah mengharamkan dirinya untuk mendapat bidadari di dunia maupun di akhirat.
  • Perzinaan menjadikan terputusnya hubungan persaudaraan, durhaka kepada orang tua, pekerjaan haram, berbuat zalim, serta menyia-nyiakan keluarga dan keturunan. Bahkan dapat terciptanya pertumpahan darah dan sihir serta dosa-dosa besar yang lain. Zina biasanya berkait dengan dosa dan maksiat yang lain, sehingga pelakunya akan melakukan dosa-dosa yang lainnya.
  • Zina menghilangkan harga diri pelakunya dan merusak masa depannya, sehingga membebani kehinaan yang berkepanjangan kepada pezina dan kepada seluruh keluarganya.
  • Kehinaan yang melekat kepada pelaku zina lebih membekas dan mendalam daripada kekafiran. Kafir yang memeluk Islam, maka selesai persoalannya, namun dosa zina akan benar-benar membekas dalam jiwa. Walaupun pelaku zina telah bertaubat dan membersihkan diri, pezina masih merasa berbeda dengan orang yang tidak pernah melakukannya.
  • Jika wanita hamil dari hasil perzinaan, maka untuk menutupi aibnya ia mengugurkan kandungannya. Selain telah berzina, pezina juga telah membunuh jiwa yang tidak berdosa. Jika pezina adalah seorang perempuan yang telah bersuami dan melakukan perselingkuhan sehingga hamil dan membiarkan anak itu lahir, maka pezina telah memasukkan orang asing dalam keluarganya dan keluarga suaminya sehingga anak itu mendapat hak warisan mereka tanpa disadari siapa dia sebenarnya.
  • Perzinaan akan melahirkan generasi yang tidak memiliki silsilah kekeluargaan menurut hubungan darah (nasab). Di mata masyarakat mereka tidak memiliki status sosial yang jelas.
  • Pezina laki-laki bermakna bahwa telah menodai kesucian dan kehormatan wanita.
  • Zina dapat menimbulkan permusuhan dan menyalakan api dendam pada keluarga wanita dengan lelaki yang telah berzina dengan wanita dari keluarga tersebut.
  • Perzinaan sangat mempengaruhi jiwa keluarga pezina, mereka akan merasa jatuh martabat di mata masyarakat, sehingga mereka tidak berani untuk mengangkat wajah di hadapan orang lain.
  • Perzinaan menyebabkan menularnya penyakit-penyakit berbahaya seperti AIDS, sifilis, kencing nanah, dan penyakit-penyakit lainnya yang ditularkan melalui hubungan seksual.
  • Perzinaan adalah penyebab bencana kepada manusia, mereka semua akan dimusnahkan oleh Allah akibat dosa zina yang menjadi tradisi dan dilakukan secara terang-terangan.

Zina menurut pandangan agama

Islam

Di dalam Islam, pelaku perzinaan dibedakan menjadi dua, yaitu pezina muhshan dan ghayru muhshan. Pezina muhshan adalah pezina yang sudah memiliki pasangan sah (menikah), sedangkan pezina ghayru muhshan adalah pelaku yang belum pernah menikah dan tidak memiliki pasangan sah.
Berdasarkan hukum Islam, perzinaan termasuk salah satu dosa besar. Dalam agama Islam, aktivitas-aktivitas seksual oleh lelaki/perempuan yang telah menikah dengan lelaki/perempuan yang bukan suami/istri sahnya, termasuk perzinaan. Dalam Al-Quran, dikatakan bahwa semua orang Muslim percaya bahwa berzina adalah dosa besar dan dilarang oleh Allah.
Tentang perzinaan di dalam Al-Quran disebutkan di dalam ayat-ayat berikut; Al Israa' 17:32, Al A'raaf 7:33, An Nuur 24:26. Dalam hukum Islam, zina akan dikenakan hukum rajam.
Hukumnya menurut agama Islam untuk para pezina adalah sebagai berikut:
  • Jika pelakunya sudah menikah melakukannya secara sukarela (tidak dipaksa, tidak diperkosa), mereka dicambuk 100 kali, kemudian dirajam, ini berdasarkan hukuman yang diterapkan Ali bin Abi Thalib. Mereka cukup dirajam tanpa didera dan ini lebih baik, sebagaimana hukum yang diterapkan oleh Muhammad, Abu Bakar ash-Shiddiq, dan Umar bin Khatthab.
  • Jika pelakunya belum menikah, maka mereka didera (dicambuk) 100 kali. Kemudian diasingkan selama setahun.[2]

Perzinaan di beberapa negara

Setiap negara yang penduduknya memiliki agama dan penganut suatu kepercayaan secara nyata. Perzinaan adalah ilegal dan diberikan sanksi terhadap pelakunya. Negara yang menerapkan hukum Islam sebagai pedoman hukum negaranya adalah negara yang paling tegas memberi sanksi terhadap pelaku zina.

Indonesia

Perbuatan zina, seperti hubungan seksual di luar nikah, ternyata tidak diatur secara eksplisit dalam aturan hukum di Indonesia. Pelaku perzinaan tidak dianggap melanggar hukum selama tidak ada yang merasa dirugikan.[3] Bagi penganut agama Islam yang memang memahami ilmu agamanya dan norma hukum yang berlaku di Indonesia, mereka merasa dirugikan karena kepercayaan demi menjaga kehormatan manusia dilanggar.

Amerika Serikat

Di Amerika Serikat, hukum yang berlaku berbeda-beda tergantung perundang-undangan yang berlaku pada setiap negara bagian. Di Pennsylvania, seorang pelaku zina, dapat dijatuhi hukuman selama 2 tahun atau 18 bulan perawatan mental. Di Maryland, perzinaan dikenakan denda sebesar $10. Tetapi walaupun begitu, sekarang perzinaan tidak dianggap ilegal bagi orang-orang yang tidak menjaga kehormatan di Amerika Serikat.

Kanada

Hukum di Kanada menggolongkan perzinaan ke dalam Divorce Act of Canada.

India

Berdasarkan hukum di India, berzina berarti hubungan seksual antara seorang pria dan wanita tanpa sepengetahuan dan izin dari suaminya. Si lelaki dapat dijatuhi hukuman selama 5 tahun (walaupun jika dirinya masih bujang), sedangkan si wanita tidak dapat dipenjarakan/dihukum.

Pakistan

Di Pakistan, juga di beberapa negara Islam lainnya, berzina adalah melanggar hukum, dan dapat dijatuhi hukuman mati.

Uni Eropa

Di beberapa negara di Uni Eropa seperti; Austria, Belanda, Belgia, Finlandia atau Swedia tidak menghukum orang yang melakukan zina.
Terlepas dari hukum formal, para pezina tak akan bisa lepas dari penolakan oleh masyarakat terhadap mereka. Perilaku dan pandangan masyarakat sendiri berbeda-beda tergantung dari kebiasaan, agama, dan nilai-nilai yang mereka anut.


bab Zina 2

Taubatnya orang zina hanya ada 2:
  1. Hukuman cambuk bagi yang belum menikah
  2. Hukuman ranjam bagi yang sudah menikah.
Apakah, Dalam bertaubat Tanpa kita melakukan 2 ponit di atas Dosa Zina kita telah di ampuni ( dengan catatan Taubatannasuha )
terima kasih atas jawabnnya semoga kita di beri Rahmat oleh Allah SWT. amin.

Jawaban:
السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
Saudara penanya dan netters eramuslim yang disayang Allah SWT. Melaksanakan hukuman terhadap perbuatan dosa yang hukuman tersebut telah disyariatkan untuk ditegakkan maka akan dapat menghapus dosa pelakunya.  Diantaranya adalah dosa perbuatan zina, apakah itu hukuman cambuk bagi pelaku zina yang masih gadis atau bujangan atau hukum rajam bagi orang yang sudah menikah atau pernah menikah secara sah sesuai syariah Islam.
Allah SWT berfirman:
“الزانية والزاني فاجلدوا كل واحد منهما مائة جلدة ولا تأخذكم بهما رأفة في دين الله إن كنتم تؤمنون بالله واليوم الأخر وليشهد عذابهما طآئفة من المؤمنين”.
“Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka cambuklah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali cambuk, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah, dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan orang-orang yang beriman”. (QS. An-Nur: 2)
Umar bin Khattab RA berkata: “Sungguh aku khawatir akan terjadi pada manusia di suatu masa yang lama hingga ada orang yang berkata kami tidak mendapati rajam di kitabullah sehingga dia menjadi sesat karena meninggalkan sebuah kewajiban yang telah Allah turunkan. Ketahuilah bahwa rajam itu hak bagi orang yang telah berzina, dan dia temasuk muhshan (pelaku zina yang sudah menikah) jika ada bukti atau kehamilan atau pengakuan”. (H.R. Bukhari dan Muslim)
Selanjutnya hukum cambuk atau rajam bisa dilakukan minimal bila ada 3 hal:
Pertama: Adanya pengakuan dari pelaku zina.
Rasulullah SAW bersabda:
واغد يا أنيس على امرأة هذا فإن اعترفت فارجمها، فغدا عليها فاعترفت فرجمها”.
“Dan pergilah wahai Unais ke wanita ini, jika dia mengaku maka rajamlah dia”. Unais pun pergi menuju wanita tersebut dan dia (wanita tersebut) mengaku maka dia (Unais) pun merajamnya”. (HR. Bukhari dan Muslim)
Kedua: Ada 4 orang saksi yang melihat terjadinya perzinaan.
Allah SWT berfirman:
“والذين يرمون المحصنات ثم لم يأتوا بأربعة شهدآء فاجلدوهم ثمانين جلدة ولا تقبلوا لهم شهادة أبدا وأولئك هم الفاسقون”.
“Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, maka cambuklah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali cambuk, dan janganlah kamu terima kesaksian mereka buat selama-lamanya. Dan mereka itulah orang-orang yang fasik”. (QS. An-Nur: 4)
Dan syarat saksi itu adalah Aqil baligh, Muslim dan adil juga mereka melihat langsung perbuatan zina, kemaluan laki-laki masuk ke kemaluan wanita.
Ketiga: Kehamilan, jika siwanita belum belum menikah.
Namun demikian bila syarat ini sudah terpenuhi, maka yang berhak melakukan hukuman ini adalah sang Imam atau pemimpin atau orang diberi wewang oleh pemimpin tersebut seperti pada kisah Unais di atas. Selanjutnya kita tidak bisa serta merta melakukan eksekusi ini tanpa ada perangkat hukum dan qanun yang berlaku di negara kita. Walaupun sebagian syariat Islam sudah diterapkan di negara kita seperti pernikahan, hukum waris dan lain sebagainya. Karenanya untuk bisa menerapkannya kita butuh waktu dan perjuangan yang panjang dan ini tugas kita sebagai Muslim.
Taubatan Nasuha.
Selanjutnya jika orang yang telah terjerumus ke dalam perbuatan tercela ini jika dia bertaubat dengan taubatan nasuha, taubat yang benar yang diiringi dengan perbaikan diri dengan beramal shalih dengan berbagai macamnya, menyesalinya dan tidak kembali melakukannya maka taubatnya ini akan dapat menghapuskan dosa atas idzin Allah. Sebagaimana hadits Rasulullah SAW:
“التائب من الذنب كمن لا ذنب له”.
“Orang yang bertaubat dari perbuatan dosa seperti orang yang tidak memiliki dosa”. (HR. Ibnu Majah)
Dan dia juga tidak harus mengumumkan atau melaporkan perbuatan bejadnya itu untuk diberi hukuman cambuk (bagi yang belum menikah) atau rajam (bagi yang sudah menikah atau pernah menikah) di negera yang sudah berlaku hukuman tersebut. Cukup baginya bertaubat dengan taubatan nasuha seperti yang kami jelaskan di atas.
Allah SWT berfirman:
“إلا من تاب وءامن وعمل عملا صالحا فأولئك يبدل الله سيئاتهم حسنات وكان الله غفورا رحيما. ومن تاب وعمل صالحا فإنه يتوب إلى الله متابا”.
“Kecuali orang-orang yang bertaubat dan beriman dan mengerjakan amal shalih; maka mereka itulah yang kejahatannya diganti Allah dengan kabaikan, dan Allah maha Pengampun lagi maha Penyayang. Dan barang siapa bertaubat dan beramal shalih maka seseungguhnya dia telah bertaubat kepada Allah dengan taubat yang sebenar-benarnya “. (QS. Al-Furqan: 70-71)
Dan juga dia harus menutupi dan jangan mengumbar berbangga diri berbangga diri dengar perbuatan bejad ini. Cukuplah dia tutupi aibnya ini dan Allah akan menutupi aibnya tersebut.
Kami ingin menegaskan kembali, syarat diterima taubat seorang hamba adalah dengan meninggalkan perbuatan dosa yang lalu, menyesali perbuatan tersebut dan berazam untuk tidak kembali melakukannya dan memohon ampun kepada Allah serta beramal shali dengan berbagai macamnya. Dan bukan menjadi syarat orang yang bertaubat itu ditegakkan Al-Hadd (hukum cambuk atau rajam) kepada orang yang melakukan perbuata dosa tersebut. Jika memang masalahnya belum sampai dibawa kepada Imam atau Hakim maka hendaknya dia segera bertaubat dan menutupi aibnya itu.
Rasulullah SAW bersabda:
“اجتنبوا هذه القاذورات التي نهى الله عنها فمن ألَمَّ بشيء منها فليستتر بستر الله وليتب إلى الله فإنه من يُبد لنا صفحته نُقم عليه كتاب الله تعالى عز وجل “.
“Jauhilah kotoran (maksiat zina) yang Allah larang ini. Barang siapa mengalaminya hendaknya dia menutupinya dengan tutupan Allah dan bertaubatlah kepada Allah; karena sesungguhnya orang yang mengumbar perbuatannya kepada kami pasti kami tegakkan Kitabullah Azza wajalla (dengan hukum cambuk atau rajam). (HR. Hakim dan Baihaqi)
Dalam hadits Ubadah bin Shamit disebutkan: “…Maka barang siapa diantara kalian menunaikannya maka pahalanya atas Allah, dan barang siapa yang menimpanya lalu dihukum (di dunia) maka hukuman itu menjadi kafarat baginya. Dan barang siapa menimpanya lalu Allah menutupi (aib) nya maka hal itu kembali kepada Allah, jika Dia berkehendak maka Dia akan mengadzabnya dan jika Dia berkehendak maka Dia akan mengapuninya”. (HR. Bukhari dan Muslim)
Dalam shahih Muslim disebutkan:
عندما جاء “ماعز” إلى النبي صلى الله عليه وسلم وأقر بالزنى وقال : “طهّرني” (يعني بإقامة الحد) ، قال له : ويحك ارجع فاستغفر الله وتب إليه”.
Ketika Ma’iz datang kepada Nabi SAW dan dia mengaku telah berzina dan berkata: : “Bersihkanlah aku” (yaitu dengan ditegakan hukum rajam) Nabi SAW menjawab: “cukup, pulanglah dan mohon ampunlah kepada Allah dan bertaubatlah kepada-Nya”. (HR. Muslim)
Hukum cambuk dan rajam bisa saja gugur bagi orang yang telah bertaubat dengan benar, berdasakan hadits Wa’il Al-Kindiy RA dia berkata : “Seorang wanita keluar untuk melakukan shalat, lalu ada seorang laki-laki menjumpainya, maka ia menguasainya dan menunaikan hajatnya darinya (wanita itu) lalu laki-laki tadi pergi. Lewatlah seorang laki laki lain maka wanita itu berkata : “Seorang laki-laki telah berbuat terhadapku demikian dan demikian”. Maka laki-laki tersebut pergi untuk mencari laki-laki tadi. Lalu datanglah sekumpulan orang-orang Anshar dan mereka berkerumun di sekitarnya. Dan wanita tadi berkata: “Seorang laki-laki telah berbuat terhadapku demikian dan demikian”.  Mereka pun pergi mencari laki-laki (sipelaku) itu. Lalu datanglah laki-laki itu membawa pelakunya” Mereka lalu membawanya menghadap Rasulullah SAW. Wanita tersebut berkata: ”Betul dialah orangnya”. Dan ketika Nabi SAW memerintahkan untuk dihukum rajam laki laki itu berkata: ”Wahai Rasulullah, sayalah pelakunya”. Lalu Nabi SAW bersabda kepada wanita itu: ”Pulanglah, sesungguhnya Allah telah mengampuni dosamu”. Dan kepada laki-laki yang bersalah Nabi SAW mengatakan dengan perkatan yang baik. Ada yang bertanya kepada beliau: “Wahai Nabi Allah, tidakkah engkau merajamnya?”. Beliau menjawab: “Sesungguhnya dia telah bertaubat yang seandainya (taubat tersebut) dilakukan oleh penduduk Madinah pastilah taubat mereka akan diterima”. (HR. HR. Ahmad, Abu Daud dan Tirmidzi).
Dari hadits ini bisa difahami bahwa hukum hadduzzina (hukuman bagi orang yang berzina) bisa gugur bagi mereka yang telah bertaubat dengan benar. Dan Ibnul Qayyim berpendapat demikian.
Imam Nawawi rahimahullah juga menegaskan:
 ”وفي هذا الحديث دليل على سقوط إثم المعاصي الكبائر بالتّوبة، وهو بإجماع المسلمين”.
“Dan di dalam hadits ini terdapat dalil bahwa dosa besar dapat gugur dengan taubat, dan ini adalah ijma’ ulama Muslim”.
Ulama lain seperti Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata:
“Dan disimpulkan dari kasusnya (kasus Ma’iz ketika dia mengaku telah berzina) bahwa dianjurkan bagi orang yang jatuh dalam kasus seperti ini agar bertaubat kepada Allah ta’ala dan menutupi dirinya dan jangan menyebutkan aibnya itu kepada orang lain….dan dengan ini Imam Syafi’I memastikan dan berkata: “Saya lebih suka (cenderung) kepada orang yang melakukan dosa (zina) dan Allah menutupinya agar dia juga menutupi dirinya dan bertaubat”.
Namun apakah dia benar-benar telah bertaubat sehingga salagi dia hidup bisa terbebas dari hukum rajam atau cambuk, atau taubatnya belum benar dan hanya berpura-pura, maka adzab di akhirat kelak akan sangat besar. karenanya segeralah bertaubat sebelum kematian yang tidak pernah diketahuinya datangnya akan segara tiba.
Demikian, semoga penjelas singkat ini dapat memberikan pencerahan dan semoga Allah SWT membimbing kita agar terhindar dari perbuatan hina dan sangat tercela ini. Amin. Allahu a’lam bishshawab

والسلام عليكم ورحمة الله وبركاته

wajib diktahui

Jika seorang lelaki melakukan persetubuhan dengan seorang perempuan, dan lelaki itu menyangka bahawa perempuan yang disetubuhinya itu ialah isterinya, sedangkan perempuan itu bukan isterinya atau lelaki tadi menyangka bahawa perkahwinannya dengan perempuan yang disetubuhinya itu sah mengikut hukum syarak, sedangkan sebenarnya perkahwinan mereka itu tidak sah, maka dalam kes ini kedua-dua orang itu tidak boleh didakwa dibawah kes zina dan tidak boleh dikenakan hukuman hudud, kerana persetubuhan mereka itu adalah termasuk dalam wati’ subhah iaitu persetubuhan yang meragukan.
Mengikut peruntukan hukuman syarak yang disebutkan di dalam Al-Qur’an dan Al-Hadith yang dikuatkuasakan dalam undang-undang Qanun Jinayah Syar’iyyah bahawa orang yang melakukan perzinaan itu apabila sabit kesalahan di dalam mahkamah wajib dikenakan hukuman hudud, iaitu disebat sebanyak 100 kali sebat. Sebagaimana Firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala yang bermaksud :
“Perempuan yang berzina dan lelaki yang berzina, hendaklah kamu sebat tiap-tiap seorang dari kedua-duanya 100 kali sebat, dan janganlah kamu dipengaruhi oleh perasaan belas kasihan terhadap keduanya dalam menjalankan hukum Agama Allah, jika benar kamu beriman kepada Allah dan hari Akhirat, dan hendaklah disaksikan hukuman siksa yang dikenakan kepada mereka itu oleh sekumpulan dari orang-orang yang beriman”. (Surah An- Nur ayat 2)
ZINA TERBAHAGI KEPADA DUA :
1. ZINA MUHSAN
2. ZINA BUKAN MUHSAN

ZINA MUHSAN
Iaitu lelaki atau perempuan yang telah pernah melakukan persetubuhan yang halal (sudah pernah berkahwin)
ZINA BUKAN MUHSAN
Iaitu lelaki atau perempuan yang belum pernah melakukan persetubuhan yang halal (belum pernah berkahwin).
Perzinaan yang boleh dituduh dan didakwa dibawah kesalahan Zina Muhsan ialah lelaki atau perempuan yang telah baligh, berakal, merdeka dan telah pernah berkahwin, iaitu telah merasai kenikmatan persetubuhan secara halal.
Penzinaan yang tidak cukup syarat-syarat yang disebutkan bagi perkara diatas tidak boleh dituduh dan didakwa dibawah kesalahan zina muhsan, tetapi mereka itu boleh dituduh dan didakwa dibawah kesalahan zina bukan muhsan mengikut syarat-syarat yang dikehendaki oleh hukum syarak.
HUKUMAN YANG DIKENAKAN KEATAS ORANG YANG ZINA MUHSAN DAN BUKAN MUHSAN
Seseorang yang melakukan zina Muhsan, sama ada lelaki atau perempuan wajib dikenakan keatas mereka hukuman had (rejam) iaitu dibaling dengan batu yang sederhana besarnya hingga mati. Sebagaimana yang dinyatakan di dalam kitab I’anah Al- Thalibin juzuk 2 muka surat 146 yang bermaksud :
”Lelaki atau perempuan yang melakukan zina muhsan wajib dikenakan keatas mereka had (rejam), iaitu dibaling dengan batu yang sederhana besarnya sehingga mati”.
Seseorang yang melakukan zina bukan muhsan sama ada lelaki atau perempuan wajib dikenakan ke atas mereka hukuman sebat 100 kali sebat dan buang negeri selama setahun sebagaimana terdapat di dalam kitab Kifayatul Ahyar juzuk 2 muka surat 178 yang bermaksud :
”Lelaki atau perempuan yang melakukan zina bukan muhsin wajib dikenakan keatas mereka sebat 100 kali sebat dan buang negeri selama setahun”.
PEREMPUAN YANG DI ROGOL DAN DI PERKOSA

Perempuan-perempuan yang dirogol atau diperkosa oleh lelaki yang melakukan perzinaan dan telah disabit dengan bukti –bukti yang diperlukan oleh syarak dan tidak menimbulkan sebarang keraguan dipihak hakim bahawa perempuan itu dirogol dan diperkosa, maka dalam kes ini perempuan itu tidak boleh dijatuhkan dan dikenakan hukuman hudud,dan ia tidak berdosa dengan sebab perzinaan itu.

Lelaki yang merogol atau memperkosa perempuan melakukan perzinaan dan telah sabit kesalahannya dengan bukti – bukti dan keterangan yang dikehendaki oleh syarak tanpa sebarang keraguan dipihak hakim, maka hakim hendaklah menjatuhkan hukuman hudud keatas lelaki yang merogol perempuan itu, iaitu wajib dijatuhkan dan dikenakan ke atas lelaki itu hukuman rejam dan sebat.

Perempuan-perempuan yang telah disabitkan oleh hakim bahawa ia adalah dirogol dan diperkosa oleh lelaki melakukan perzinaan, maka hakim hendaklah membebaskan perempuan itu dari hukuman hudud (tidak boleh direjam dan disebat) dan Allah mengampunkan dosa perempuan itu di atas perzinaan secara paksa itu.

Cara Cepat Belajar Mengaji Al quran Untuk Pemula [Mudah dan Praktis] November 9, 2017   by  Miqdad Nashr Belajar Mengaji  – Kitab Al...