"Batas antara seseorang dengan kekufuran adalah meninggalkan shalat. (HR. Muslim)Makna hadits ini sangat jelas di kalangan para sahabat RA. Abdullah bin Syaqiq Al 'Uqaili berkata, "Para sahabat Nabi SAW tidak melihat sesuatu dari amal ibadah yang meninggalkannya adalah kufur selain shalat." (HR. Tirmidzi)
"Perjanjian antara kita dengan mereka adalah shalat, maka barangsiapa yang meninggalkan berarti ia kafir." (HR- Nasa'i, Tirmidzi dan Ahmad)
Tidak heran jika Al Qur'an telah menjadikan shalat itu sebagai pembukaan sifat-sifat orang yang beriman yang akan memperoleh kebahagiaan dan sekaligus menjadi penutup. Pada awalnya Allah berfirman:
"Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman, (yaitu) orang-orang yang khusu' dalam shalatnya." (Al Mu'minun: 9)Ini menunjukkan pentingnya kedudukan shalat dalam kehidupan seorang Muslim dan masyarakat Islam.
Al Qur'an juga menganggap bahwa menelantarkan (mengabaikan) shalat itu termasuk sifat-sifat masyarakat yang tersesat dan menyimpang. Adapun terus menerus mengabaikan shalat dan menghina keberadaannya, maka itu termasuk ciri-ciri masyarakat kafir. Allah SWT berfirman:
"Maka datanglah sesudah mereka, pengganti (generasi) yang menyia-nyiakan shalat dan memperturutkan hawa nafsunya, maka mereka kelak akan menemui kesesatan." (Maryam: 59)Allah SWT juga berfirman mengenai sikap orang-orang kafir yang mendustakan risalah sebagai berikut:
"Dan apabila dikatakan kepada mereka: Ruku'lah, niscaya mereka tidak mau ruku'." (AI Mursalat: 48)Kemudian dalam ayat lainnya Allah berfirman:
"Dan apabila kamu menyeru mereka untuk shalat, mereka menjadikannnya buah ejekan dan permainan. Yang demikian itu adalah karena mereka benar-benar kaum yang tidak mau mempergunakan akal." (Al Maidah: 57)Sesungguhnya masyarakat Islam adalah masyarakat yang Rabbani, baik secara ghayah (orientasi) maupun wijhah (arahan). Sebagaimana Islam itu agama yang Rabbani, baik secara nasy'ah (pertumbuhan) maupun masdar (sumbernya), masyarakat yang ikatannya sambung dengan Allah SWT, terikat dengan ikatan yang kuat. Shalat merupakan ibadah harian yang menjadikan seorang Muslim selalu dalam perjanjian dengan Allah. Ketika ia tenggelam dalam bahtera kehidupan maka datanglah shalat untuk menerjangnya. Ketika dilupakan oleh kesibukan dunia maka datanglah shalat untuk mengingatkannya. Ketika diliputi oleh dosa-dosa atau hatinya penuh debu kelalaian' maka datanglah shalat untuk membersihkannya. Ia merupakan"kolam renang" ruhani yang dapat membersihkan ruh dan menyucikan hati lima kali dalam setiap hari, sehingga tidak tersisa kotoran sedikit pun.
Ibnu Mas'ud meriwayatkan dari Nabi SAW, beliau bersabda: "Kamu sekalian berbuat dosa, maka kamu telah melakukan shalat subuh maka shalat itu membersihkannya, kemudian kamu sekalian berbuat dosa, maka jika kamu melakukan shalat zhuhur, maka shalat itu membersihkannya, kemudian berbuat dosa lagi, maka jika kamu melakukan shalat 'asar maka shalat itu membersihkannya, kemudian kamu berbuat dosa lagi, maka jika kamu melakukan shalat maghrib, maka shalat itu membersihkannya, kemudian kamu berbuat dosa lagi, maka jika kamu melakukan shalat isya', shalat itu akan membersihkannya, kemudian kamu tidur maka tidak lagi di catat dosa bagi kamu hingga kamu bangun." (HR. Thabrani)Pelaksanaan shalat dalam Islam mempunyai keistimewaan yaitu dengan berjamaah dan adanya adzan. Berjamaah dalam shalat ada yang menyatakan fardhu kifayah sebagaimana dikatakan oleh mayoritas para Imam dan ada yang mengatakan fardhu 'ain sebagaimana dikatakan oleh Imam Ahmad.
Karena pentingnya shalat berjamaah maka Rasulullah SAW serius akan membakar rumah-rumah suatu kaum dengan api karena mereka ketinggalan dari shalat berjamaah dan mereka shalat di rumah-rumah mereka. Ibnu Mas'ud berkata tentang shalat:
"Kamu bisa melihat generasi kami (para sahabat), tidak ada yang tertinggal dari shalat berjamaah kecuali orang yang sakit atau munafik yang diketahui nifaqnya." (HR. Muslim)Karena pentingnya shalat berjamaah maka Islam menekankan kepada kita untuk senantiasa mendirikan shalat secara berjamaah, walaupun di tengah-tengah peperangan. Maka dianjurkan untuk shalat"Khauf." Shalat ini merupakan shalat berjamaah yang khusus dilakukan pada saat peperangan di belakang satu imam dengan dua tahapan. Pada tahap pertama sebagian orang-orang yang ikut berperang shalat terlebih dahulu satu rakaat di belakang imam, kemudian meninggalkan tempat shalat untuk menuju ke medan perangnya dan menyempurnakan shalatnya di sana, kemudian pada tahapan berikutnya datanglah sebagian yang semula menghadapi musuh, untuk mengikuti shalat dibelakang imam.
Ini semua mereka lakukan dengan membawa senjata perang dan dengan penuh kewaspadaan. Mengapa ini semua mereka lakukan? Semata-mata agar tidak seorang pun dari mujahidin yang kehilangan keutamaan shalat berjamaah yang sangat ditekankan oleh Islam. Allah menjelaskan dalam firman-Nya,
"Dan apabila kamu berada di tengah-tengah mereka (sahabatmu) lalu kamu hendak mendirikan shalat bersama-sama mereka, maka hendaklah segolongan dari mereka berdiri (shalat) besertamu dan menyandang senjata, kemudian apabila mereka (yang shalat besertamu) sujud (telah menyempurnakan satu rakaat), maka hendaklah mereka pindah dari belakangmu (untuk menghadapi musuh) dan hendaklah datang golongan yang kedua yang belum shalat, lalu shalatlah mereka bersamamu, dan hendaklah mereka bersiap siaga dan menyandang senjata. Orang-orang kafir ingin supaya kamu lengah terhadap senjatamu dan harta bendamu, la1u mereka menyerbu kamu dengan sekaligus. Dan tidak ada dosa atasmu meletakkan senjata-senjatamu, jika kamu mendapat sesuatu kesusahan karena hujan atau karena kamu memang sakit; dan siap siagalah kamu. Sesungguhnya Allah telah menyediakan adzab yang menghinakan bagi orang-orang kafir itu." (An-Nisa': 102)Ayat ini selain menunjukkan kedudukan shalat berjamaah juga menunjukkan betapa pentingnya kedudukan shalat itu sendiri. Berlangsungnya peperangan, siap siaganya musuh dan kesibukan dalam berjihad fi sabilillah itu tidak menggugurkan kewajiban shalat. Tetapi tetap wajib dilaksanakan dengan cara semampunya, walaupun tanpa ruku', sujud dan menghadap kiblat ketika dalam peperangan yang serius. Cukuplah dengan berniat ketika dalam kondisi darurat dan melakukan apa saja yang mungkin dikerjakan seperti tilawah, isyarat berdzikir dan sebagainya. Allah SWT berfirman:
"Peliharalah segala shalat(mu), dan (peliharalah) shalat wustha. Berdirilah karena Allah (dalam shalatmu) dengan khusyu'. Jika kamu dalam keadaan takut (bahaya), maka shalatlah sambil berjalan atau berkendaraan. Kemudian apabila kamu telah aman, maka sebutlah Allah (shalatlah), sebagaimana Allah telah mengajarkan kepada kamu apa yang belum kamu ketahui." (Al Baqarah: 238-239)Yang dimaksud dengan firman Allah, "Farijaalan aur-rukhaanan" adalah shalatlah kamu sambil berjalan atau berkendaraan, menghadap ke kiblat atau tidak, semampu kamu, ini sesuai dengan orang yang naik pesawat, mobil, tank dan lain-lain.
Shalat juga memiliki keistimewaan dengan adzan, itulah seruan Rabbani yang suaranya menjulang tinggi setiap hari lima kali. Adzan berarti mengumumkan masuknya waktu shalat, mengumumkan tentang aqidah yang asasi dan prinsip-prinsip dasar Islam, meliputi, "Allahu akbar empat kali, Asyhadu an laa ilaaha illallah wa asyhadu anna Muhammadan Rasulullah, dua kali. Hayya'alashshalaah dua kali. Hayya 'alalfalaah, dua kali, Allahu akbar, dua kali, kemudian membaca laa ilaaha illallah."
Adzan ini layaknya 'lagu kebangsaan' bagi ummat Islam yang didengungkan dengan suara tinggi oleh muadzin, lalu dijawab oleh orang-orang beriman di mana saja berada. Mereka bersama-sama ikut mengulang secara serempak kalimat-kalimat adzan itu, untuk menghunjamkan nilai-nilainya dalam jiwa dan memperkuat nilai-nilai itu dalam akal dan hati.
Shalat, sebagaimana disyariatkan oleh Islam, bukanlah sekedar hubungan ruhani dalam kehidupan seorang Muslim. Sesungguhnya shalat dengan adzan dan iqamatnya, berjamaah dengan keteraturannya, dengan dilakukan di rumah-rumah Allah, dengan kebersihan dan kesucian, dengan penampilan yang rapi, menghadap ke kiblat' ketentuan waktunya dan kewajiban-kewajiban lainnya' seperti gerakan, tilawah, bacaan-bacaan dan perbuatan-perbuatan, yang dimulai dengan takbir dan diakhiri dengan salam, dengan ini semuanya maka shalat punya nilai lebih dari sekedar ibadah. Sesungguhnya shalat merupakan sistem hidup, manhaj tarbiyah dan ta'lim yang sempurna, yang meliputi (kebutuhan) fisik, akal dan hati. Tubuh menjadi bersih dan bersemangat, akal bisa terarah untuk mencerna ilmu, dan hati menjadi bersih dan suci.
Shalat merupakan tathbiq 'amali (aspek aplikatif) dari prinsip-prinsip Islam baik dalam aspek politik maupun sosial kemasyarakatan yang ideal. Yang membuka atap masjid menjadi terus terbuka sehingga nilai persaudaraan, persamaan dan kebebasan itu terwujud nyata. Terlihat pula dalam shalat makna keprajuritan orang-orang yang beriman, ketaatan yang paripurna dan keteraturan yang indah.
Imam Asy-syahid Hassan Al Banna berkata, dalam menjelaskan shalat secara sosial, setelah beliau menjelaskan pengaruh shalat secara ruhani: "Pengaruh shalat tidak berhenti pada batas pribadi, tetapi shalat itu sebagaimana disebutkan sifatnya oleh Islam dengan berbagai aktifitasnya yang zhahir dan hakikatnya yang bersifat bathin merupakan minhaj yang kamil (sempurna) untuk mentarbiyah ummat yang sempurna pula. Shalat itu dengan gerakan tubuh dan waktunya yang teratur sangat bermanfaat untuk tubuh, sekaligus ia merupakan ibadah ruhiyah. Dzikir, tilawah dan doa-doanya sangat baik untuk pembersihan jiwa dan melunakkan perasaan. Shalat dengan dipersyaratkannya membaca AL Fatihah di dalamnya, sementara AL Qur'an menjadi kurikulum Tsaqafah Islamiyah yang sempurna telah memberikan bekal pada akal dan fikiran dengan berbagai hakekat ilmu pengetahuan, sehingga orang yang shalat dengan baik akan sehat tubuhnya, lembut perasaannya dan akalnya pun mendapat gizi. Maka kesempurnaan manakah dalam pendidikan manusia secara individu setelah ini? Kemudian shalat itu dengan disyaratkannya secara berjamaah, maka akan bisa mengumpulkan ummat lima kali setiap hari dan sekali dalam satu pekan dalam shalat jum'at di atas nilai-nilai sosial yang baik, seperti ketaatan, kedisiplinan, rasa cinta dan persaudaraan serta persamaan derajat di hadapan Allah yang Maha Tingi dan Besar. Maka kesempurnaan yang manakah dalam masyarakat yang lebih sempurna daripada masyarakat yang tegak di atas pondasi tersebut dan dikuatkan di atas nilai-nilai yang mulia?
Sesungguhnya shalat dalam Islam merupakan sarana tarbiyah yang sempurna bagi individu dan pembinaan bagi membangun ummat yang kuat. Dan sungguh telah terlintas dalam benak saya ketika sedang menjelaskan prinsip-prinsip kemasyarakatan saat ini bahwa shalat yang tegak dan sempurna itu bisa membawa dampak kebaikan bagi pelakunya dan bisa membuang sifat-sifat buruk yang ada. Shalat telah mengambil dari"Komunisme" makna persamaan hak dan persaudaraan yaitu dengan mengumpulkan manusia dalam satu tempat yang tidak ada yang memiliki kecuali Allah yaitu Masjid; dan Shalat telah mengambil dari"kediktatoran" makna kedisplinan dan semangat yaitu dengan adanya komitmen untuk berjamaah' mengikuti Imam dalam setiap gerak dan diamnya, dan barang siapa yang menyendiri, maka ia akan menyendiri dalam neraka. Shalat juga mengambil dari"Demokrasi" suatu bentuk nasehat, musyawarah dan wajibnya mengembalikan Imam ke arah kebenaran apabila ia salah dalam kondisi apa pun. Dan shalat biasa membuang segala sesuatu yang jelek yang menempel pada semua ideologi tersebut di atas seperti kekacauan Komunisme, penindasan diktaktorisme, kebebasan tanpa batas demokrasi, sehingga shalat merupakan minuman yang siap diteguk dari kebaikan yang tidak keruh di dalamnya dan tidak ada keruwetan"
Karena itu semua maka masyarakat Islam pada masa salafus shalih sangat memperhatikan masalah shalat, sampai mereka menempatkan shalat itu sebagai"mizan" atau standar, yang dengan neraca itu ditimbanglah kadar kebaikan seseorang dan diukur kedudukan dan derajatnya. Jika mereka ingin mengetahui agama seseorang sejauh mana istiqamahnya maka mereka bertanya tentang shalatnya dan sejauh mana ia memelihara shalatnya, bagaimana ia melakukan dengan baik. Ini sesuai dengan hadits Rasulullah SAW:
"Apabila kamu melihat seseorang membiasakan ke Masjid, maka saksikanlah untuknya dengan iman." (HR. Tirmidzi)Kemudian Nabi membaca firman Allah sebagai berikut:
"Hanyalah yang memakmurkan masjid-masjid Allah ialah orang yang beriman kepada Allah dan hari kemudian, serta tetap mendirikan shalat, menunaikan zakat dan tidak takut (kepada siapa pun) selain kepada Allah, maka merekalah orang-orang yang diharapkan termasuk orang-orang yang mendapat petunjuk." (At-Taubah: 18)Dari sinilah, maka pertama kali muassasah (lembaga) yang dibangun oleh Rasulullah SAW setelah beliau hijrah ke Madinah adalah Masjid Nabawi. yang berfungsi sebagai pusat ibadah, kampus bagi kajian keilmuan dan gedung parlemen untuk musyawarah.
Umat bersepakat bahwa siapa yang meninggalkan shalat karena menentang kewajiban shalat dan karena menghinanya maka ia telah kafir. Dan mereka berbeda pendapat mengenai orang yang meninggalkan tidak secara sengaja tetapi karena malas, sebagian mereka ada yang menghukumi kafir dan berhak dibunuh seperti pendapat Imam Ahmad dan Ishaq. Sebagian lagi ada yang menghukumi fasiq dan berhak dibunuh, seperti Imam Syafi'i dan Malik, dan sebagian yang lain ada yang mengatakan fasik dan berhak mendapat ta'zir (hukuman, atau pengajaran dengan dipukul dan dipenjara sampai ia bertaubat dan shalat, seperti Imam Abu Hanifah. Tidak seorang pun di antara mereka mengatakan bahwa shalat itu boleh ditinggalkan menurut kehendak seorang Muslim, jika mau ia kerjakan dan jika ia tidak mau, maka ia tinggalkan dan hisabnya terserah Allah. Bahkan mereka (para Imam) mengambil kesepakatan bahwa termasuk kewajiban hakim atau daulah Muslimah untuk ikut mengancam dan memberi pengajaran bagi setiap orang yang secara terus menerus meninggalkan shalat.
Maka bukanlah masyarakat Islam itu masyarakat yang membiarkan orang-orang bergabung dengan Islam, sementara mereka hidup tanpa ruku' kepada Allah SWT, tanpa mereka memperoleh.sanksi atau pengajaran dengan alasan bahwa manusia itu mempunyai hak kebebasan untuk berbuat.
Bukan pula masyarakat Islam itu masyarakat yang menyamakan antara orang-orang yang shalat dan orang-orang yang tidak shalat apalagi mengutamakan orang-orang yang tidak shalat dan menjadikan mereka sebagai pemimpin.
Bukan pula masyarakat Islam itu yang membangun perkantoran-perkantoran, lembaga-lembaga, pabrik-pabrik dan sekolah-sekolah, sementara di dalamnya tidak ada Masjid yang dipergunakan untuk shalat dan didengungkan suara adzan.
Bukanlah masyarakat Islam itu masyarakat yang sistem kerjanya tidak mengenal waktu shalat, sehingga bagi siapa saja dari karyawannya yang tak menepati peraturan itu (yang tidak mengenal waktu shalat) akan dikenakan sanksi yang sesuai dan akan dituding sebagai berbuat kesalahan.
Bukanlah masyarakat Islam itu masyarakat yang ketika mengadakan seminar, resepsi, pertemuan-pertemuan dan ceramah-ceramah, sementara ketika masuk saatnya shalat tidak ada suara adzan dan tidak didirikan shalat.
Sebelum itu semuanya, bukanlah dikatakan masyarakat Islam itu masyarakat yang tidak mengajarkan shalat kepada putera-puterinya di sekolah-sekolah dan di rumah-rumah, sejak masa kanak-kanak. Maka ketika mereka berusia tujuh tahun mereka harus diperintahkan, dan ketika berusia sepuluh tahun mereka dipukul apabila meninggalkan shalat.
Bukanlah masyarakat Islam itu masyarakat yang tidak menjadikan shalat termasuk serangkaian kurikulum pendidikan pengajaran dan penerangan yang pantas diperhatikan dalam agama Allah dan dalam kehidupan kaum Muslimin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar