Selasa, 12 Juli 2011

Puasa

1. Boleh coba cari dalam kamus mana pun, Anda tak bisa temukan kata “puanaaas!”, namun kata ini sering kita ucapkan untuk mengekspresikan perasaan “terlalu panas sampai tak tertahankan!” (misalnya, kalau kaki kita tersentuh knalpot motor, atau ketika bibir kita menyentuh cangkir kopi panas).
2. Kita, sadar atau tidak sadar, biasa menyelipkan sisipan “u” untuk mengeraskan/menyangatkan makna suatu kata — (mungkin karena pengaruh Bahasa Jawa?) — seperti:
a. “Pas” menjadi “puas”.
b. “Enak” menjadi “uenak”.
c. “Besar” menjadi “buesar”.
d. “Cilik” menjadi “cuilik”.
e. “Dingin” menjadi “duingin”.
f. “Cantik” menjadi “cuantik”.
g. “Bagus” menjadi “buagus”.
II. “Bahaya!”
1. “Bhaya” (Bahasa Sanskerta) = sesuatu yang mengancam/menakutkan/mengerikan = “bahaya” (Bahasa Indonesia).
2. “Bhaya” (Bahasa Jawa) = “makhluk yang berbahaya/mengerikan”.
3. “Bhuaya” (Bahasa Jawa) = “buaya” (Bahasa Indonesia); terbentuk dari kata “bhaya” (= “mengerikan/berbahaya”) diberi sisipan “u”, menjadi “bh-u-aya” (“sangat mengerikan/berbahaya”).
4. Awas! Bahaya kekeliruan bisa menjebak penggemar “etimologi amatiran” (seperti saya ini), kalau rumus sisipan “u” diterapkan secara “pukul rata”, sehingga kita mengira kata “puasa” berasal dari kata “pasa” yang diberi sisipan “u”.
5. Memang “pasa” (Bahasa Jawa) diberi arti “puasa”; tetapi, “puasa” bukan berarti “sangat pasa” justru sebaliknya, orang Jawa sebetulnya terjebak “salah kaprah” karena mereka mengira bahwa “puasa” sisipan “u”, padahal sesungguhnya “pasa” itulah yang dibuat dari “puasa” yang huruf “u”-nya dicabut secara paksa, seperti gigi yang kena “salah cabut”.
6. Untuk meluruskan kembali “salah kaprah” tersebut, mari kita telusuri kata “puasa” menurut etimologi yang sepatutnya.
III. Analisis Etimologis “Puasa”
1. “Upa-vas” (Bahasa Sanskerta):
a. Tetap bertahan diam di suatu tempat.
b. Tetap bertahan/bersikeras/bertekun/berkanjang melakukan sesuatu dengan serius.
c. Tetap bertahan/bertekun dalam menjalankan aturan pantang.
d. Memaksa diri untuk tidak makan/minum/memuaskan nafsu kenikmatan.
2. “Upa-Vasa” (Bahasa Sanskerta):
a. Puasa (Bahasa Indonesia).
b. Penerapan disiplin religius yang terdiri atas tindakan berpantang terhadap segala bentuk pemuasan nafsu-nafsu indriyawi, seperti: makan, minum, seks, bahkan juga kenikmatan parfum, bunga-bungaan, minyak oles, perhiasan, sirih pinang, musik, tari-tarian.
3. Dari “upa-vasa” (Bahasa Sanskerta) menjadi “upa-wasa” (Bahasa Kawi), akhirnya menjadi “puwasa/puasa” (Bahasa Melayu) yang kemudian masuk ke dalam kosa kata Bahasa Indonesia.
4. Di Indonesia, yang menjalankan “ibadah puasa” di “bulan puasa” secara mencolok mata adalah umat Islam, jadi wajar-wajar saja orang mengira bahwa “puasa” itu merupakan istilah yang khas “Islami” yang tidak lepas hubungannya dengan Bahasa Arab.
5. Kenyataannya, orang Arab tidak kenal dengan istilah “puasa”; untuk itu mereka punya istilahnya sendiri, yaitu: “SHIYAM” atau “SHAUM”.
IV. Analisis Etimologis “SHIYAM”
1. “Sha-wa-ma” (Bahasa Arab) =
a. Menahan.
b. Berhenti.
c. Diam, tidak bergerak.
2. “Shiyam” (Bahasa Arab) = berpuasa (Bahasa Indonesia) secara Islami:
a. “Menahan diri dari makan, minum, dan mengeluarkan sperma dari terbitnya fajar sampai terbenamnya matahari senja”.
b. Menahan/mengendalikan diri.
c. Sikap sabar.
d. Pendisiplinan diri yang mencakup pembatasan atas seluruh anggota tubuh, hati dan pikiran agar jauh dari segala macam dosa.
3. “SHAUM” (Bahasa Arab) = menahan diri, terutama mengendalikan lidah/perkataan, agar bicara seperlunya saja, dan menjauhkan pembicaraan yang sia-sia, apalagi dusta, umpatan, gosip dan fitnah, (terutama dalam masa “Puasa Ramadhan”).
4. a. “Shaimin” = orang yang menjalankan puasa (lelaki).
b. “Shaimat” = orang yang menjalankan puasa (perempuan).
V. “RAMADHAN”
1. “Ramadh” (Bahasa Arab):
a. Suhu/temperatur yang sangat tinggi.
b. Panas yang menghanguskan tanah di padang pasir.
c. Panas yang membuat batu-batuan membara di padang pasir.
d. Hati yang hangus terbakar oleh kesedihan yang sangat tak tertahankan.
2. “Ramadha” (Bahasa Arab) = tanah yang hangus terbakar oleh panasnya matahari di bulan kesembilan.
3. a. “Ramadhan” = “yang terpanas” = bulan kesembilan dalam kalender Islam, yakni bulan yang terpanas dari antara semua bulan.
c. Bulan “Ramadhan” merupakan bulan tersuci di antara semua bulan, karena dalam bulan inilah Alquran mulai diturunkan sebagai “al Furqan” (= yang memisahkan baik dan buruk, benar dan salah) bagi umatnya, dan sebagai pernyataan syukur umat kepada Allah, umat Islam menjalankan ibadah puasa Ramadhan dengan penuh ketaatan.
c. Pada zaman “jahiliyah” (masa kegelepan, masa kebodohan, zaman pro-Islami), suku-suku padang pasir Arabia sering saling menyerang dan menjarah bagaikan olahraga saja, namun pada bulan Ramadhan mereka mengadakan gencatan senjata, karena mereka tidak tahan panas teriknya matahari yang membara di alam terbuka padang pasir, sehingga mereka lebih nyaman dalam naungan kemah masing-masing daripada harus berperang di luar permukiman masing-masing.
Mereka sepakat (menurut hukum padang pasir) untuk menjadikan Ramadhan sebagai “Bulan Perdamaian”, walaupun dalam arti “gencatan senjata selama satu bulan” selama “Ramadhan”, semua senjata mereka dijemur di bawah terik matahari yang membara, maksudnya agar senjata-senjata logam itu menjadi lebih kuat dan berkhasiat sesudah dibersihkan dari noda-noda darah dan dibakar dengan terik matahari “Ramadhan”.
Usai “Ramadhan”, mereka bebas saling menyerang dan menjarah bagaikan sport yang mengasyikkan untuk mengisi waktu luang mereka sepanjang tahun (maklum, mereka tidak bertani/berladang, mereka hidup berpindah-pindah di padang pasir, sehingga kesibukan ekonomi mereka adalah berperang dan menjarah”).
d. Seperti logam mulia dimurnikan dari logam-logam rendahan, begitu juga umat Islam yang “berpuasa Ramadhan” dimurnikan dari segala dosa berkat api semangat ketaatan mereka dalam beribadah puasa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Cara Cepat Belajar Mengaji Al quran Untuk Pemula [Mudah dan Praktis] November 9, 2017   by  Miqdad Nashr Belajar Mengaji  – Kitab Al...