Karya Sastra dan Masyarakat
Karya sastra adalah suatu wadah untuk
mengungkapkan gagasan, ide dan pikiran dengan gambaran-gambaran pengalaman.
Sastra menyuguhkan pengalaman batin yang dialami pengarang kepada penikmat
karya sastra (masyarakat). Sastra bukan hanya refleksi sosial melainkan
merespresentase sebuah gagasan tentang dunia yang atau gagasan atas realitas
sosiologis yang melampaui waktunya.
Karya sastra yang baik adalah sebuah karya yang dapat memberikan
kontribusi bagi masyarakat. Hubungan sastra dengan masyarakat pendukung
nilai-nilai kebudayaan tidak dapat dipisahkan, karena sastra menyajikan
kehidupan dan sebagian besar terdiri atas kenyataan sosial (masyarakat),
walaupun karya sastra meniru alam dan
dunia subjektif manusia (Wellek dan Warren, 1990:109). Di samping itu sastra
berfungsi sebagai kontrol sosial yang
berisi ungkapan sosial beserta problematika kehidupan masyarakat. Hal ini
diungkapkan oleh Jobrahim, ed, (1994: 221) bahwa sastra menampilkan gambaran
kehidupan dan kehidupan itu sendiri adalah suatu kenyataan sosial.
Secara
historis, dalam kaitannya dengan masyarakat yang menghasilkannya, karya sastra
dibedakan menjadi dua macam, yaitu sastra lama (klasik) dan sastra baru (modern).
Sastra lama juga disebut sastra daerah (regional), menggunakan bahasa (bahasa)
daerah, terbesar diseluruh Nusantara. Sebaliknya, sastra modern juga disebut
sastra Indonesia (nasional), menggunakan bahasa Indonesia, penyebarannya pada
umumnya terbesar pada kota-kota (besar). Sebagai objek kajian, kedudukan sastra
lama dan sastra modern sama, relevansinya tergantung dari sudut pandang dan
kepentingan suatu penelitian.
Secara
teknis sastra lama ada dua macam, yaitu sastra lisan (oral) dan sastra tulis. Melihat kondisi-kondisi geografis ekologis,
dan keragaman bentuknya, sastra lisan merupakan khazanah kebudayaan yang paling
kaya. Melihat penyebaranya yang sangat luas, khazana kultural ini tidak pernah
terdeteksi secara pasti. Yang pasti adalah bahwa tradisi tersebut makin lama
makin berkurang dengan berkurangnya masyarakat pendukung sebagai akibat
mobilitas dan globalisasi. Tradisi tulis tidak berpengaruh terhadap keberadaan
sastra lisan. Artinya, meskupun suatu tradisi lisan telah ditranskripsikan ke
dalam tulisan, tradisi tersebut tetap hidup dengan mekanismenya masing-masing.
Oleh karena itu, masyarakat pendukungnyalah yang memilki pengaruh terbesar
terhadap perkembangan tradis lisan. Tradisi lisan adalah tradisi komunikasi
langsung dan dimungkinkan terjadinya interaksi antara pengirim dengan penerima.
Esensi tradisi oral adalah proses komunikasi tersebut, bukan proses tekno;ogisasinya.
Transkipsi, transliterasi, dan sebagainnya
hanyalah gejala kedua, sama dengan sinopsis sebuah novel, relevansinya
tersebut untuk membantu memahami objek yang sesungguhnya (Ratna, 2005).
Tradis
tulis berkembang dengan pesat sejak ditemukannya mesin cetak abad ke-15 oleh
Guttenberg. Satu abad kemudian, yaitu abad ke-16, hampir semua khazanah
kebudayaan Eropa Klasik sudah tersedia dalam bentuk cetakan teknologi ini
sampai di Indonesia pertengahan ke-18, diawali dengan penerbitan surat kabar
yang pertama oleh pemerintah kolonial Belanda. Industri percetakan bertambah
subur akhir abad ke-19 melalui para pedagang Tioghoa. Menurut Ratna (2005:
62-63) perkembangan ini didukung oleh pemilikan modal untuk membeli alat-alat
percetakan di satu pihak tradisi untuk memajukan pendidikan sebagai konservasi
nilai-nilai borjuis di pihak yang lain. Kemudian, awal abad ke-20 dunia
percetakan diambil alih oleh penerbitan Balai Pustaka. Sementara itu, sastar
derah tetap melanjudkan tradisinya masing-masing, seperti Sastra Bali dengan
tulisan Bali, sastra Jawa dengan tulisan Jawa, dan sebagainnya. Penemuan
teknologi kemputer menpersatukan kedua mekanisme, secara teknologis komputer
dapat mentranskipskan kelisana dalam bentuk apa pun, termasuk lambang-lambang
menjadi tradisi keberaksaraan.
Tugas
sosiologis sastra, baik sebagai institusi formal maupun literer justru menjadi
lebih penting dalam kaitannya dengan nilai-nilainya sebagai aset kebudayaan.
Sastra klasik adalah warisan nenek moyang, pancaran masyarakat lama, sekaligus
merupakan gudang inforamasi bagi generasi berikutnya. Sesuai dengan
Undang-Undang Dasar 45, pasal 32, maka seluruh khazanah kultural yang masih
dipelihara oleh masyarakat yang bersangkutan wajib dilindungi oleh negara,
termasuk aparatur yang menyertai sesuai dengan fungsinya, maka cara-cara yang
dapat dilakukan oleh sosiologis sastra adalah melestarikan dengan cara merekam,
mengabadiakan , menganalisis, memahami dan menyebarluaskannya. Tugas ini memang
sangat berat sebab kekayaan terbatas. Masalah lain yang juga belum
teratasi adalah keterbatasan dana
penelitian. Kendalah yang jauh lebih serius adalah tradisi memposisikan karya
sastra sebagai gelajah sekunder, dengan konsekuensi bahwa berbagai masalah yang
berkaitan dengan aspek-aspek rohani hanya berfungsi sebagai pelengkap. Oleh
karena itulah, banyak tradisi lisan yang belum tersentuh, seperti wilayah
pedalaman di Sumatra, Kalimantan dan, Irian Barat dan sebagainya, sehinnga sangat rawan
untuk menjadi punah.
Perbedaan
pendapat mengenai awal terjadinya sastra Indonesia modern timbul sebagai akibat
beberapa indikator yang terlibat, di antaranya, sebagai berikut:
1.
Bahasa
sebagai kualitas linguistik dan sastra sebagai kulaitas estetis lahir pada
periode yang sama. Bahasa dan sastra Indonesia adalah pernyataan sikap bukan
hakikat.
2.
Hubungan
bentuk sastra lama dan modern belum jelas, sementara pengaruh sastra lama masih
sangat kuat.
3.
Pada
saat lahirnya sastra Indonesia modern, yaitu awal abad ke-20, terjadi
pergeseran sosial yang sangat kompleks termasuk intervensi pemerintah
kolonial dengan cara memanfaatkan sastra
sebagai kekuatan politik.
4.
sebagian
pendapat berasal dari sarjana Barat yang dengan sendirinya menggunakan tolok
ukur sastra Barat.
5.
Usia sastra
Indonesia yang masih relatif singkat sehingga sangat sulit untuk mengadakan
pembabakan waktu.
Dalam kaitannya
dengan peranan masyarakat, masalah aktual paling banyak dibicarakan mengenai
sastra awal abad ke-20, terutama sepanjang tahun 1930-an adalah nasionalisme.
Menurut Kartodirdjo (1990; 120-130) terdapat beberapa indikator yang menopang
perkembangan ideologi tersebut, sebagai berikut :
1.
Meratanya
perkembangan pendidikan, yang dengan sendirinya membangkitkan kesadaran
nasional.
2.
Timbulnya
sikap radikal sebagai akibat penyimpangan pelaksanaan politik etis.
3.
Pengaruh
situasi internasional seperti pecahnya Perang Dunia I (1914-1918).
Pesatnya
perkembangan sastra Indonesia modern, merupakan akibat langsung pemanfaatan
teknologi modern, yaitu percetakan, yang juga disebarluaskan melalui sistem
komunikasi modern. Hasil-hasil karya dapat digandakan secara massal dan dapat
dinikmati di seluruh pelosok tanah air dalam waktu yang relatif singkat. Sastra
modern menyajikan peristiwa aktual yang terjadi sehari-hari, cerita-cerita yang
sangat akrab dengan masyarakat kontemporer. Sesuai dengan situasi dan kondisi,
tingkat pengalaman dan pengetahuan masyarakat, maka cerita-cerita yang menarik
adalah cerita yang mengandung masalah-masalah yang berkaitan dengan
kemerdekaan, kemakmuran, percintaan, keberhasilan suatu perjuangan, dan
kemajuan-kemajuan perdaban manusia pada umumnya. Lokasi cerita adalah kota-kota
besar, tokoh-tokoh berasal dari kelas menengah ke atas.
Karya sastra tetap
menarik karena menyerupai kehidupan, tetapi jelas bukan kehidupan itu sendiri.
Dimensi-dimensi emosionalitas yang teralienasikan dapat disalurkan melalui
pembaca karya sastra. Penjajahan yang sangat lama, taraf kehidupan yang sama
sekali tidak memadai, seolah-olah telah melumpuhkan sebagian semangat
perjuangan. Membaca karya sastra berarti menumbuhkan harapan-harapan baru,
dengan cara mengidentifikasikan diri dengan kejadian-kejadian dalam karya
sastra. Karya sastra pada gilirannya menggali energi yang stagnasi, karya
sastra merupakan katharsis, revitalisasi
bagi kekuatan yang tersembunyi. Pada dasarnya sastra awal abad ke-20 bernilai
dari segi ekstraliterer, tetapi semangat itulah yang dapat disumbangkan bagi
kemajuan bangsa. Sutan Takdir Alisyahbana merupakan tokoh yang telah banyak
memberikan pertimbangan dalam hubungan ini. Pada tingkatan yang lebih luas,
polemik kebudayaan memberikan arah terhadap perkembangan budaya kontemporer,
meskipun sesungguhnya sampai sekarang belum terwujud secara nyata.
Berbeda dengan
karya sastra yang dapat diolongkan menjadi lama dan modern, masyarakat selalu
dibayangkan melalui masyarakat sekarang. Dalam analisis sastra lama, misalnya,
benar yang dibicarakan adalah masyarakat lama, masyarakat sebagai katar
belakang produksi karya, tetapi jelas dinilai dalam kaitannya dengan masyarakat
sekarang. Apabila masyarakat sastra lama semata-mata dinilai sebagai masyarakat
lama, maka penelitian menjadi bersifar
sejarah, filologi, antropologi, atau sosiologi itu sendiri. Kemungkinan lain
analisis menjadi semata-mata refleksi, karya sastra sebagai cermin yang pasif.
Sebaliknya, analisis sosiologi adalah analisis karya melalui kompetensi
masyarakat, dengan tujuan untuk menemukan estetika karya, bukan estetika
masyarakat.
Masyarakat sebagai
masalah pokok sosiologi sastra dapat digolongkan ke dalam tiga macam, sebagi
berikut:
1.
Masyarakat
yang merupakan latar belakang produksi karya.
2.
Masyarakat
yang terkandung dalam karya.
3.
Masyarakat
yang merupakan latar belakang pembaca.
Masyarakat pertama
dihuni oleh pengarang, keberadaannya tetap, tidak berubah sebab merupakan
proses sejarah. Masyarakat kedua dihuni oleh tokoh-tokoh rekaan, sebagai
manifestasi subjek pengarang. Oleh karena itu, keberadaannya memiliki dua
dimensi yang berbeda. Di satu pihak, sebagai bentuk fiisk, sebagai naskah
bersifat tetap, sedangkan di pihak lain sebagai kualitas psike, sebagai teks
berubah secara terus-menerus. Masyarakat yang terakhir dihuni oleh (para)
pembaca. Sebagai proses sejarah keberadaannya sama dengan masyarakat yang
pertama. Perbedaannya, masyarakat pembaca berubah sebagai akibat perubahan
pembaca itu sendiri, yang berganti-ganti sepanjang zaman (Ratna, 2005; 215-216).
Sebagai masyarakat
pengarang, masyarakat pertama terdiri atas fakta-fakta, dihuni oleh individu
sekaligus transindividu, peristiwa dan kejadian-kejadiannya dapat diamati
secara langsung. Pada umumnya, masyarakat yang terkandung dalam karya sastralah
yang paling banyak menarik perhatian. Secara teoritis masyarakat ini merupakan
masyarakat imajiner yang sesuai dengan hakikat karya sebagai rekaan.
Relevansinya adalah fungsi-fungsinya dalam menampilkan unsur-unsur karya
sastra, seperti tokoh-tokoh, tema, sudut pandang, dan sebagainya. Keseluruhan
model analisis, ekstrinsik dan intrinsik, otonomi dan sosiologi, strukturalisme
dan postrukturalisme, mesti melibatkan masyarakat imajiner sebagaiamana yang
terkandung dalam karya sastra (Junus, 1986).
Sesuai dengan
perkembangan teori sastra, masyarakat pembaca dianggap sebagai dimensi karya
yang mengandung makna paling kaya. Masyarakat pembacalah yang memungkinkan para
pembaca berhasil untuk memberikan pemahaman yang berbeda-beda terhadap karya
yang sama. Perbedaan yang dimaksudkan terdiri atas perbedaan ruang dan waktu.
Sebagai akibat perbedaan ruang, sebuah karya dapat ditafsirkan secara
bermacam-macam sesuai dengan latar belakang masing-masing pembaca. Sebuah karya
sastra pada gilirannya dapat mengevokasi keberagaman budaya dalam ruang yang
tak terbatas. Karya sastra adalah pelita, yang melaluinya dapat ditunjuk
berbagai-bagai bentuk kebudayaan lokal, sebagaiamana terkandung dalam diri
pembaca. Perbedaan waktu juga menampilkan perbedaan penafsiran. Baik dalam
teori maupun sejarah sastra, perbedaan waktu inilah yang dianggap lebih
bermakna sebab karya sastra akan tetap hidup sepanjang masa. Karya sastra yang
telah lahir ribuan tahun yang lalu, masih menampilkan makna yang berbeda-beda
sehingga tetap bermanfaat bagi masyarakat (Wahid, 2006).
Sebagai dua
diskresi, sastra dan masyarakat berkembang dengan irama yang juga relatif sama,
sastra melalui unsur tokoh-tokoh dan kejadian yang diintegrasikan oleh makanisme
pemplotan, masyarakat melalui unsur aksi dan interaksi, status dan peranan yang
diintegrasikan oleh mekanisme institusionalisasi. Plot jelas hanya ada dalam
karya sastra sebab kejadian dan tokoh-tokoh merupakan bahan kasar, unsur-unsur
yang siap pakai, dapat dibekukan dan dimanipulasi, dirangkai sebagai seni
waktu. Sebaliknya, dalam kehidupan sehari-hari kejadian mengalir terus tanpa
berhenti, karena itulah, tidak ada sorot balik, tidak ada teknik cerita.
Keduanya memanfaatkan medium bahasa, baik lisan maupun tulisan, sebagai bahasa
sastra dan bahasa sehari-hari.
Berbeda dengan
masyarakat pada umumnya, masyarakat sastra ditandai oleh adanya berbagai
kepentingan yang berkaitan dengan: 1) citra estetis, 2) ilmu pengetahuan, 3)
manfaat pragmatis, 4) nilai ekonomis, dan 5) nilai dokumentasi. Kepentingan
mengenai citra estetis meruapakan masalah utama sebab keindahan meruapakan
hakikat karya sastra, karya seni pada umumnya, yang pada gilirannya akan
merupakan umpan balik bagi perilaku sosial itu sendiri, dalam rangka menanamkan
nilai-nilai moral. Kepentingan dalam kaitannya dengan ilmu pengetahuan, dalam
hal ini secara khusus dikaitkan dengan kritik, esai, dan penelitian mengenai
karya sastra itu sendiri, pada gilirannya akan memicu kulaitas aktivitas kreatif
berikutnya, manfaat pragmatis dilakukan oleh pembaca biasa, pada umumnya untuk
mengisi waktu luang. Manfaat pragmatis juga dilakukan oleh para penguasa untuk
mempertahankan kedudukannya, kelompok tertentu, seperti Marxis untuk
menyampaikan ideologinya. Nilai ekonomi dilakukan oleh penerbit dan toko buku
yang secara keseluruhan berorientasi finansial. Berbeda dengan ilmu
pengetahuan, kepentingan sebagai dokumentasi meliputi pemakaian karya sastra
semata-mata sebagai gejala kedua, sebagai obyek penelitian disiplin yang lain.
Sesuai dengan hakikatnya, sastra harus mempertahankan kualitas otonomi,
ciri-ciri estetis yang diperoleh melalui regulasi diri, kemampuan dalam
mengakumulasikan dan mengeksploitasi seluruh unsurnya. Di pihak lain, sastra
juga memiliki misi dan tujuan-tujuan tertentu, sesuai dengan kecenderungan
masyarakat yang melatarbelakanginya. Terjadi tarik-menarik di atara keduanya,
silang sengketa antara hakikat dan manfaat, visi dan misi, kualitas emosional
dan intelektual, sastra sebagai proyeksi individu sekaligus transindividu.
Sastrawan menulis karya sastra, antara lain, untuk menyampaikan model
kehidupan yang diidealkan dan ditampilkan dalam cerita lewat para tokoh. Dengan
karya sastranya, sastrawan menawarkan pesan moral yang berhubungan dengan
sifat-sifat luhur kemanusiaan, memperjuangkan hak dan martabat manusia.
Sifat-sifat itu pada hakikatnya universal, artinya diyakini oleh semua manusia.
Pembaca diharapkan dalam menghayati sifat-sifat ini dan kemudian menerapkannya
dalam kehidupan nyata (Teeuw, 2003: 321).
Untuk itu, seorang pengarang berusaha untuk memperlihatkan kemungkinan
tersebut, memperlihatkan masalah-masalah manusia yang subtil (halus) dan
bervariasi dalam karya-karya sastranya. Sedangkan daya imajinatif adalah
kemampuan pengarang untuk membayangkan, mengkhayalkan, dan menggambarkan
sesuatu atau peristiwa-peristiwa. Seorang pengarang yang memiliki daya
imajinatif yang tinggi bila dia mampu memperlihatkan dan menggambarkan
kemungkinan-kemungkinan kehidupan, masalah-masalah, dan pilihan-pilihan dari
alternatif yang mungkin dihadapi manusia. Kedua daya itu akan menentukan
berhasil tidaknya suatu karya sastra. Dalam kaitan dengan proses penciptaan
karya sastra, seorang pengarang berhadapan dengan suatu kenyataan yang ada
dalam masyarakat (realitas objektif). Realitas obyektif bisa berbentuk
peristiwa-peristiwa, norma-norma (tata nilai), pandangan hidup. Karya sastra
menceritakan berbagai masalah kehidupan manusia dalam interaksinya dengan diri
sendiri, lingkungan, dan juga Tuhan. Karya sastra berisi penghayatan sastrawan
terhadap lingkungannya. Karya sastra bukan hasil kerja lamunan belaka,
melainkan juga penghayatan sastrawan terhadap kehidupan yang dilakukan dengan
penuh kesadaran dan tanggungjawab sebagai sebuah karya seni (Hadi W.M, 2008:
3).
Karya sastra memiliki peran yang penting dalam masyarakat karena karya
sastra merupakan ekspresi sastrawan berdasarkan pengamatannya terhadap kondisi
masyarakat sehingga karya sastra itu menggugah perasaan orang untuk berpikir
tentang kehidupan. Membaca karya sastra merupakan masukan bagi seseorang untuk
melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Para penguasa sering melarang peredaran
karya-karya sastra yang dianggap membahayakan pemerintahannya. Buku-buku
dimusnahkan dan sastrawan-sastrawan diasingkan. Pramoedya Ananta Toer pernah
diasingkan ke Pulau Buru. Karya Mochtar Lubis berjudul Senja di Jakarta juga pernah dilarang
beredar oleh Sukarno. Kekerasan ini terjadi karena sastrawan lewat karyanya
berusaha melakukan perlawanan terhadap ketidakadilan penguasa
Pemecahan persoalan sosial lewat karya sastra terkait dengan
konvensi-konvensi kesusastraan. Konvensi-konvensi itu selalu ada dalam
aktivitas kesusastraan karena konvensi-konvensi itu menentukan sejauh mana suatu
obyek dapat dianggap sebagai karya sastra pada umumnya atau sebagai karya yang
baik atau yang buruk pada khususnya. Sastrawan tidak dilarang untuk melakukan
“pendobrakan” terhadap konvensi-konvensi sastra karena masyarakat sastralah
yang nanti akan menilai apakah “pendobrakan” itu masih dalam batasan keindahan
karya sastra atau tidak. Sastrawan juga perlu memperhatikan konvensi-konvensi
sastra yang berlaku sebelumnya karena “pendobrakan” terhadap konvensi sastra
akan terlihat maknanya jika dipertentangkan dengan konvensi sebelumnya (Teeuw,
1988: 29).
Ada hubungan yang menarik ketika konvensi sastra itu dikaitkan dengan
struktur sosial. Menurut Faruk (1994: 44-47) kemungkinan hubungan tersebut ada
empat, yaitu hubungan kelembagaan, hubungan permodelan, hubungan interpretatif,
dan hubungan pembatasan. Hubungan yang pertama adalah hubungan kelembagaan yang
menganggap konvensi-konvensi tersebut sebagai sebuah lembaga sosial yang
diterima dan dipertahankan oleh masyarakat. Perubahan pada konvensi-konvensi
tersebut akan berakibat perubahan pada struktur sosial dan perubahan pada
struktur sosial akan berakibat perubahan pada konvensi-konvensi kesusastraan.
Pada dasarnya masyarakatlah
yang menghasilkan kebudayaan sebab yang pertama kali memanfaatkan kompetensi
manusia adalah masyarakat itu sendiri. Meskipun dernikian, dengan adanya
hasil-ha aktivitas manusia, maka kebudayaan itu pun menghasilkan bentuk-bentuk
masyarakat tertentu. Teknologi media massa menghasilkan mesyarakat pemirsa yang
berbeda-beda. Atas dasar penjelasan di atas, maka baik karya sastra sebagai
hasil aktivitas kebudayaan di satu pihak, maupun sebagai hasil interaksi
manusia dalam masyarakat di pihak yang lain, memiliki nilai yang sama. Dengan
kalimat lain, karya sastra, seperti juga karya seni yang lain, dan dengan
sendirinya keseluruhan basil ciptaan manusia, sekaligus dihasilkan oleh
masyarakat dan kebudayaan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar