Assalamu’alaykum Wr. Wb.
Sejak dari masa keaktifan saya sebagai salah satu anggota milis Islamic Network berkisar antara tahun 1997 sampai dengan tahun 2002 lalu dan bahkan hingga sekarang dimana saya juga terlibat dimilis Eramuslim dan MyQuran, beberapa sahabat sering mempertanyakan pola penafsiran al-Qur’an yang saya lakukan yang menurut mereka seringkali pula berbeda dengan umumnya masyarakat Islam memahami.
Allah telah menentukan bahwa kesadaran manusia datangnya berangsur, bertahap sesuai dengan perkembangan peradaban yang Dia tetapkan lebih dahulu.
Dalam lapangan sains terdapat suatu kesimpulan bahwa apa yang telah dikatakan benar, sesungguhnya belumlah mutlak benar. Sesuatu hal adalah benar menurut anggapan relatif disuatu jaman karena pada periode berikutnya terdapat bukti yang memperbaiki kebenaran bermula, hingga apa yang kemarin telah benar, kini harus dirubah lagi, dan besok mungkin disempurnakan lagi.
Karenanya, kebenaran ilmiah sering bukan menjadi kata akhir, dia hanyalah tahap baru yang pernah dicapai dalam suatu waktu untuk memperoleh pengertian. Tingkat keberhasilan dari pencaharian ini harus selalu diukur dengan tahap persetujuan antara pernyataan dan kenyataan tentang sesuatu.
Kebenaran ilmiah barulah mewakili ataupun memperlihatkan kesanggupan yang telah dicapai disuatu jaman. Dia tidak berkuasa untuk menentukan ramalan penyelidikan selanjutnya dalam lapangan tertentu yang sehubungan dengannya.
Perubahan dan peningkatan demikianpun terdapat dalam pengetahuan tentang hukum agama diantara masyarakat ramai. Namun apa yang terkandung dalam AlQur’an telah mutlak benar karena dia bukan karangan manusia, tetapi diturunkan oleh Allah yang menentukan perkembangan peradaban tadi.
Karena al-Qur’an itu dinyatakan berfungsi sampai keakhir jaman, tentulah banyak sekali pokok ilmu yang masih asing bagi manusia abad 14 Hijriah. Sebab itu, bukanlah suatu keanehan bilamana kesadaran manusia abad 15 Hijriah lebih meningkat daripada generasi sebelumnya tentang rangkaian ilmu yang terkandung dalam al-Qur’an demikian seterusnya diabad-abad berikutnya.
Dalam hal pentafsiran, kita tidak bisa terpaku hanya kepada penafsiran atau penterjemahan AlQur’an yang sudah ada saja (ortodok), sebab seiring dengan perkembangan tata bahasa dan pengertian serta perkembangan dari peradaban ilmu dan tekhnologi, maka akan banyak pula istilah-istilah yang lebih tepat didalam pengartian suatu ayat yang menghantarkan kepada kita cara memahami ayat al-Qur’an sesuai dengan keadaan jaman yang kita hadapi.
Bahasa Arab adalah bahasa yang indah, penuh khasanah seni dan sebagainya.
Setiap orang boleh mengungkapkan makna kitab suci AlQur’an. Karenanya penafsiran AlQur’an bukan monopoli para imam atau pemimpin agama dan pemegang wewenang tertinggi dalam bidang hukum, alhamdulillah Islam tidak menganut sistem kependetaan seperti yang terjadi dalam dunia Kristen.
Islam bukanlah agama yang penuh misteri, begitupun al-Qur’an sebagai kitab sucinya, yang hanya dapat dimengerti oleh sekelompok jemaah. Rasulullah Muhammad Saw tidak meninggalkan dunia yang fana ini kecuali setelah ia menyampaikan amanat dan menunaikan risalahnya. Rasulullah kemudian meminta para pengikutnya dan semua sahabat-sahabatnya untuk menyebarluaskan dan menyampaikan ajaran-ajaran Ilahi yang telah mereka peroleh darinya.
Bahwa al-Qur’an seharusnya dipandang sebagai sumber dari segala keilmuan, tidak perlu kita permasalahkan lagi. Banyak kaum intelegensia Muslim yang mengungkapkan bagaimana penemuan-penemuan ilmiah yang paling mutakhir sekalipun ada diungkapkan dalam al-Qur’an dengan berbagai bahasanya.
Semua ayat al-Qur’an itu diturunkan mengandung hal-hal yang logis, dapat dicapai oleh pikiran manusia, dan al-Qur’an itu dijadikan mudah agar dapat dijadikan pelajaran atau bahan pemikiran bagi kaum yang mau memikirkan sebagaimana yang disebut dalam Surah Al-Qamar ayat 17 :
“Dan sesungguhnya telah Kami mudahkan AlQur’an untuk pelajaran, maka adakah orang yang mengambil pelajaran ?” (QS. 54:17)
“Dan sesungguhnya Kami telah mendatangkan Kitab kepada mereka, Kami jelaskan dia (kitab itu) atas dasar ilmu pengetahuan; menjadi petunjuk dan rahmat bagi orang-orang yang beriman.” (QS. 7:52)
Seringkali ayat-ayat Al-Quran ini bisa ditafsirkan secara harfiah dan sekaligus juga secara ruhaniah. Jika mengutarakan topik yang tidak terlaku dipahami atau pengetahuan manusia pada saat itu masih bersifat spekulatif, maka penafsiran harfiah hanya bisa diterima jika sejalan dengan tingkat pengetahuan di tiap zaman. Dengan diperolehnya pengetahuan baru, penafsiran biasanya direvisi menurut wacana yang lebih mendalam tentang subyek bersangkutan.
Petunjuk umum dan ketentuan cara penafsiran telah diatur oleh al-Quran sendiri dengan cara menentukan adanya dua kategori jenis ayat-ayat yaitu yang jelas dan bersifat desisif dalam maknanya, sedangkan bentuk ayat yang lainnya tidak bersifat definitif dan bisa ditafsirkan secara berbeda. Mengenai ini dinyatakan:
‘Dia-lah yang menurunkan Al-Kitab kepada engkau, di dalamnya ada ayat-ayat yang muhkamat (bersifat desisif), itulah dasar-dasar Al-Kitab dan yang lain adalah ayat mutasyabihat (alegoris). . .’ -Qs.3 Ali Imran:8
Yang Muhkamat adalah petunjuk hidup yang mudah dimengerti yang terdapat didalam AlQur’an, termasuk didalamnya masalah halal-haram, perintah dan larangan serta hal-hal lainnya dimana ayat-ayat tersebut dapat dipahami oleh siapa saja secara gamblang dan mudah tanpa memerlukan pemikiran-pemikiran yang berat.
Jangan mencuri, jangan berzinah, jangan berjudi, jangan membunuh … ini haram, ini halal, sholat itu wajib, zakat itu wajib, puasa itu wajib dan seterusnya … inilah contoh-contoh bentuk ayat-ayat yang Muhkamat.
Ayat-ayat yang bersifat alegoris masuk dalam kategori kedua dan bisa menyangkut analogi keruhanian atau bisa jadi nubuatan yang bentuk dan saatnya masih belum jelas. Petunjuk umum yang diberikan al-Quran untuk menafsirkan ayat-ayat yang tidak desisif atau bisa ditafsirkan bermacam-macam demikian, ialah maknanya harus dikolaborasikan atau didukung oleh ayat-ayat yang desisif serta tidak bertentangan dengan ayat-ayat lain dalam Al-Quran. Kitab suci ini menjadi penafsir dan penterjemah dirinya sendiri.
Ayat-ayat Mutasyabihat bisa juga menyangkut hal-hal yang susah dimengerti karena berupa keterangan tentang petunjuk banyak hal yang mesti diteliti dan merangkaikan satu sama lain hingga dengan begitu terdapat pengertian khusus tentang hal yang dimaksudkan, termasuk didalamnya adalah dapat diungkapkan melalui kemajuan teknologi dan cara berpikir manusia.
Seandainya al-Qur’an itu seluruhnya muhkamat, pastilah akan hilang hikmah yang berupa ujian sebagai pembenaran juga sebagai usaha untuk memunculkan maknanya dan tidak adanya tempat untuk merubahnya. Berpegang pada ayat mustasyabih saja dan mengabaikan ayat Muhkamat, hanya akan menimbulkan fitnah dikalangan umat.
Juga seandainya al-Qur’an itu seluruhnya mutasyabihat pastilah hilang fungsinya sebagai pemberi keterangan dan petunjuk bagi umat manusia. Dan ayat ini tidak mungkin dapat diamalkan dan dijadikan sandaran bagi bangunan akidah yang benar.
Akan tetapi Allah dengan kebijaksanaanNya telah menjadikan sebagian tasyabuh dan sisanya mustayabihat sebagai batu ujian bagi para hamba agar menjadi jelas siapa yang imannya benar dan siapa pula yang didalam hatinya condong pada kesesatan.
Cukup banyak selama ini orang yang mencoba menafsirkan ayat al-Qur’an tanpa menyentuh sisi keilmiahan dari al-Qur’an dengan mengandalkan ayat-ayat yang bersifat mutasyabihat melalui berbagai perumpamaan atau percontohan berdasarkan hawa nafsunya maupun golongannya saja, karenanya tidak jarang pula akhirnya mereka malah terjebak didalam pemahaman mereka sendiri akibat berbenturan dengan hal-hal yang memang sangat kompleks yang terdapat didalam al-Qur’an, sehingga pengungkapannya seringkali berkesan rancu dan dicocok-cocokkan guna mendukung teori mereka.
Sesungguhnya Tasyabuh yang terdapat dalam AlQur’an itu ada dua macam :
Tasyabuh hakiki
ialah tasyabuh yang tidak mungkin dapat dimengerti oleh manusia sepenuhnya, seperti mengenai diri Allah, seperti apa wujud-Nya, darimana Dia berasal dan seterusnya … meskipun, secara umum Dia sendiri sudah memberikan pemaparan akan hakekat diri-Nya, seperti Allah itu Esa, Dia bersifat alpha dan omega, tidak beranak dan tidak diperanakkan, tidak ada satupun, tidak ada seorangpun yang menyerupai-Nya …
ialah tasyabuh yang tidak mungkin dapat dimengerti oleh manusia sepenuhnya, seperti mengenai diri Allah, seperti apa wujud-Nya, darimana Dia berasal dan seterusnya … meskipun, secara umum Dia sendiri sudah memberikan pemaparan akan hakekat diri-Nya, seperti Allah itu Esa, Dia bersifat alpha dan omega, tidak beranak dan tidak diperanakkan, tidak ada satupun, tidak ada seorangpun yang menyerupai-Nya …
Dalam hal ini Allah telah berfirman : “…sedang ilmu mereka tidak dapat meliputi ilmu-Nya.” (QS. 20:110)
Tasyabuh nisbi
Ialah tasyabuh bagi sebagian orang tetapi tidak demikian bagi sebagian lainnya. Orang-orang yang mendalam ilmunya ataupun orang yang mempelajari ilmu pengetahuan bisa mengetahui tasyabuh seperti ini, namun sebaliknya, orang-orang yang tidak memiliki pengetahuan ataupun mendalam ilmunya tidak dapat mengetahuinya.
Tasyabuh macam ini dapat diungkap dan dijelaskan, karena didalam AlQur’an tidak ada yang tidak jelas maknanya bagi siapa saja yang mau mendalaminya.
Tasyabuh macam ini dapat diungkap dan dijelaskan, karena didalam AlQur’an tidak ada yang tidak jelas maknanya bagi siapa saja yang mau mendalaminya.
Allah berfirman :
“ini adalah penerangan bagi seluruh manusia dan petunjuk serta pelajaran bagi orang-orang yang bertakwa.” (QS. 3:138)
“ini adalah penerangan bagi seluruh manusia dan petunjuk serta pelajaran bagi orang-orang yang bertakwa.” (QS. 3:138)
Allah mengajarkan bahwa isi al-Qur’an itu tidak lain dari fitrah manusia, petunjuk bagi manusia untuk mengenal dirinya dan lingkungannya. Sayangnya umat Islam selama ini cenderung lari dan mengingkari kefitrahan yang dimaksudkan oleh al-Qur’an itu sendiri. Kaum muslimin tidak lebih mengerti al-Qur’an ketimbang orang diluar Islam sendiri. Agama Islam menjadi asing dalam lingkungannya sendiri, tepat seperti yang disabdakan oleh Rasulullah.
al-Qur’an mengajarkan bahwa tiada iman yang tidak diuji, karenanya kaum Muslimin harus mempersiapkan diri menghadapai ujian Allah yang sangat berat sekalipun. al-Qur’an juga mengajarkan bahwa ia merupakan petunjuk yang sebaik-baiknya untuk membina kehidupan umat, itulah kewajiban kaum Muslimin untuk membuktikan kebenarannya ! Bukan kewajiban Allah untuk membuktikan kebenaran firman-Nya ! Sebab firman itu benar dengan sendirinya.
Dengan modal kejujuran, kita bisa membaca sikap kita selama ini: meminta, menuntut agar Allah membuktikan kebenaran firman-Nya ! Karena kita tidak mengerti apa makna ajaran Allah !
Begitulah al-Qur’an, sebagai satu sarana untuk menghadapi ujian Allah tentang keimanan, kita harus belajar, belajar, berjuang dan berjuang agar kita bisa merealisasikan kebenaran ayat-ayat itu. Memang tidak mungkin jika ilmu Allah termuat dengan rinci dalam al-Qur’an, karena al-Qur’an sendiri sudah mengkiaskan bahwa ilmu Allah itu tidak bisa dituliskan dengan tinta sebanyak air dilautan sekalipun.
al-Qur’an hanyalah satu petunjuk yang menunjukkan bahwa Ilmu Allah terdapat dimana-mana, diluar dan dalam diri manusia itu sendiri. Suatu petunjuk yang sempurna yang harus dikaji dengan otak, perasaan dan logika pengetahuan. Bukan sekedar menagih kepada Allah untuk merealisasikan janji-Nya !
Dengan penuh kerendahan hati dan bermodalkan kemampuan yang pas-pasan, baik dalam berpikir maupun pengetahuan, saya disini mencoba untuk ikut menguak sedikit ilmu yang terkandung dalam kitabullah ini dengan berdasarkan pada surah 9:122 dibawah ini:
“Tidak sepatutnya bagi orang-orang yang mu’min itu keluar semuanya. Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama ? dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya ?” (QS. 9:122)
Dalam mengemukakan pendapat dalam rangka menggali ilmu agama yang terkandung dalam al-Qur’an, saya tidak memisahkan antara sesuatu yang ilmiah dan yang non-ilmiah, muhkamat dan mutasyabihat, semuanya coba saya satukan, sebagai suatu hal yang memang tidak dapat dipisah-pisahkan dalam ajaran Islam.
“Dia-lah yang menurunkan Kitab kepada kamu. Di antaranya ada ayat-ayat yang muhkamat itulah pokok-pokok isi al-Qur’an dan yang lain mutasyaabihaat. Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti sebahagian ayat-ayat yang mutasyabihat untuk menimbulkan fitnah /perselisihan/ dan untuk mencari-cari pengertiannya, padahal tidak ada yang mengetahui pengertiannya melainkan Allah serta orang-orang yang mendalam ilmunya. Katakanlah:”Kami beriman kepada yang semua ayat-ayatnya itu dari sisi Tuhan kami”. Dan tidak dapat mengambil pelajaran melainkan orang yang mau memikirkan.” (QS. 3:7)
Namun demikian, bukanlah saya ini hendak berkata sombong bahwa saya termasuk orang yang berpengetahuan atau mendalam ilmu dibidang agama sehingga bisa membedah-bedah al-Qur’an sekehendak hati saya, sama sekali tidak ada terbesit dalam hati saya untuk yang demikian.
Semua ini saya lakukan hanya sebagai hasil dari olah pemikiran saya terhadap apa yang saya pelajari dari al-Qur’an maupun berbagai literatur lainnya seperti sejumlah besar hadis-hadis Nabi, berbagai pendapat para ulama dan kaum cendikiawan baik ortodox atau modern, perkembangan ilmu pengetahuan dan sebagainya yang untuk selanjutnya sebagai hasil akhir kajian saya ini saya serahkan kepada anda semua untuk melakukan penilaian dan menjadi bahan pemikiran dari pendapat yang saya kemukakan ini.
Seluruh umat Islam bertanggung jawab untuk menyampaikan dan menyebarluaskan risalah Islam. Tidak ada perbedaan, kecuali perbedaan kadar dalam memahami Kitabullah dan Sunnah Rasul. Dan tidak ada seorangpun yang memperoleh izin khusus /sekalipun dia memiliki kemampuan dan pengakuan yang tertinggi dalam bertabligh/ untuk dapat menghalalkan yang diharamkan Allah, atau mengharamkan yang telah dihalalkanNya.
Dan janganlah kamu mengatakan dusta terhadap apa yang disebut-sebut oleh lidahmu: “ini halal dan itu haram”, untuk kamu ada-adakan kebohongan atas nama Allah. Sesungguhnya orang yang mengada-adakan dusta atas nama Allah tiada akan bahagia. (QS. 16:116)
Bahwa untuk memahami al-Qur’an tidak hanya berhenti pada terjemahan semata ya saya juga setuju itu, tetapi kitapun harus bisa bersikap realistis bahwa saat kita belajar bahasa tertentu maka kitapun sebenarnya melakukan proses penterjemahan bahasa itu kepada bahasa yang kita pahami, misalnya kita membaca kata Robb, saat itu otak kita akan melakukan imaji dan penterjemahan dari kata Robb itu menjadi kata yang bisa kita pahami atau kita mengerti sehingga jadilah dalam pemikiran kita bahwa Robb itu sepadan dengan istilah Tuhan … tetapi apakah benar kata Robb itu memang sepadan dengan kata Tuhan ? sebenarnya juga tidak pas benar, sebab Robb itu harusnya lebih dari pada sekedar istilah Tuhan, Robb merupakan manifestasi dari semua nilai-nilai Tauhid maupun kemahaan dari Allah, tetapi kita akan menjadi kesulitan untuk mendapatkan terjemahan sederhana yang terbaik dalam bahasa yang kita pahami kecuali akhirnya ya kata Tuhan itulah dijadikan terjemahan dari kata Robb tadi.
Begitu juga misalnya kata Dien, dia lebih dari sekedar agama, tetapi dengan alasan yang sama seperti diatas maka ya kita gunakan juga istilah agama untuk mengganti kata Dien tadi … sekalipun sekali lagi ini sangat belum tepat untuk merujuk arti yang sesungguhnya.
Mengenai penggunaan kamus-kamus yang anda rujuk itupun dalam pandangan saya pribadi ya sama saja, bahwa itukan hasil olah para penulisnya dalam rangka menterjemahkan kata demi kata yang ada kedalam suatu bentuk pemahaman yang bisa dipahami bersama.
Lalu jika sekarang misalnya saya melakukan metodologi yang sama tetapi hasil akhir atau outputnya berbeda dengan penterjemahan mereka apa lantas saya harus dihakimi ? saya rasa ini terlalu mengada-ada … yang pasti akan didebatale pasti karena posisi saya yang dianggap bukan orang Arab sehingga tidak mengerti bahasa Arab secara jelas, juga posisi saya yang tidak dianggap (sekali lagi : tidak dianggap) memiliki kredebilitas sebagai penafsir sebagaimana misalnya Sayid Qutub, Ibnu Katsir atau yang lainnya … buat saya itu semua adalah lelucon saja yang tidak perlu saya tanggapi.
Salah satu masalah yang selalu menghantui umat Islam sepanjang sejarahnya adalah bagaimana kita bisa hidup sesuai dengan tuntutan teksual al-Qur’an di satu pihak, tetapi di pihak lain kita juga bisa menempatkan diri secara kongruen dengan perkembangan-perkembangan kemanusiaan. Bagaimana, di satu pihak, kita bisa terus menyesuaikan diri dengan perubahan, tetapi, di pihak lain, tetap menjadi Muslim yang bertahan dengan pemahaman tekstual ortodoknya.
Pada hakekatnya, semakin kita ortodoks maka semakin jauh kita dari kondisi yang realistis. Sebab apapun juga yang ada di zaman sekarang ini sudah tidak bisa dibandingkan 100% dengan jamannya al-Ghazali, jamannya al-Qurtuby dan yang lainnya.
Bahkan Umar bin Khatab sendiri yang masa pemerintahannya tidak terpisah jauh dari kehidupan dan pemerintahan Nabi telah mengeluarkan ijtihad-ijtihad yang banyak dalam periode pemerintahannya.
Contoh kisah Khalifah Umar bin Khatab yang mengembalikan harta rampasan perang berupa tanah pertanian di Siria dan Irak kepada penduduk setempat memang sempat mengundang perdebatan diantara beberapa sahabat Nabi seperti Bilal (orang yang diangkat oleh Nabi sebagai muadzin pertama) dengan merujuk pada surah al-anfal ayat 41 dan menyatakan bahwa Umar sudah menyimpang dari al-Qur’an dan Sunnah :
Ketahuilah, bahwa apa yang kamu peroleh sebagai rampasan perang, maka sesungguhnya seperlima untuk Allah, Rasul, kerabat Rasul, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan Ibnussabil (para pengembara), jika memang kamu beriman kepada Allah dan kepada apa yang Kami turunkan kepada hamba Kami (Muhammad). – Qs. 8 al-anfal : 41
Pendapat Bilal memang memiliki dasar kuat apalagi Nabi sendiri pernah membagi-bagikan tanah pertanian Khaibar setelah dibebaskan dari kekuasaan orang Yahudi. Namun Umar menganggap bahwa umat Muslim tidak perlu terlalu kaku didalam memperlakukan ayat-ayat Qur’an dan perlu juga mempertimbangkan kondisi jaman yang dijalani.
Apa komentar Imam Ali bin Abu Thalib mengenai Umar bin Khatab ?
Dari buku “Mutiara Nahjul Balaghah” yang diberi Syarah oleh Syaikh Muhammad Abduh, terbitan Mizan 1999 dan diterjemahkan oleh Muhammad al-Baqir, Ali bin Abu Thalib Karramallahu wajhah telah berkata pada hari wafatnya Khalifah Umar bin Khatab r.a, :
“Alangkah bahagianya!
Dia telah meluruskan yang bengkok, mengobati sumber penyakit, menghindar dari masa kekacauan dan menegakkan sunnah.
Ia pergi dalam keadaan bersih; jarang bercela; meraih kebaikan dunia dan selamat dari keburukannya.
Memenuhi ketaatan kepada Tuhannya dan mencegah diri dari kemurkaan-Nya.
Ia berangkat meninggalkan umat pada saat mereka berada dijalan-jalan yang saling bersimpangan tak menentu arahnya, sedemikian sehingga yang tersesat sulit memperoleh petunjuk, yang sadar pun tidak mampu meyakinkan diri.”
Ia pergi dalam keadaan bersih; jarang bercela; meraih kebaikan dunia dan selamat dari keburukannya.
Memenuhi ketaatan kepada Tuhannya dan mencegah diri dari kemurkaan-Nya.
Ia berangkat meninggalkan umat pada saat mereka berada dijalan-jalan yang saling bersimpangan tak menentu arahnya, sedemikian sehingga yang tersesat sulit memperoleh petunjuk, yang sadar pun tidak mampu meyakinkan diri.”
Mungkinkah penilaian Ali bin Abu Thalib terhadap kepribadian Umar bin Khatab tersebut keliru? Tidakkah pola pikir dari Umar bin Khatab juga mampu kita warisi untuk mengaktualisasikan ajaran Islam dijaman penuh kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi ini ? Jika nama Umar bin Khatab yang hidup ditengah jaman padang pasir berhasil tercantum dalam buku seratus tokoh yang paling berpengaruh dalam sejarah karangan Michael H. Hart [10] yang notabene bukan beragama Islam, bagaimana mungkin kita-kita yang hampir setiap harinya bergelut dengan telepon seluler dan Internet masih mengembangkan cara berpikir yang sempit ?
Ayat-ayat mutasyabihat masih menanti orang-orang seperti Umar bin Khatab untuk membuka rahasia yang terkandung didalamnya, semua ayat al-Qur’an sudah diperuntukkan oleh Allah bagi kemaslahatan hidup manusia tanpa ada pengecualian. Tidak inginkah kita memanfaatkannya ?
Jika kita ingin al-Qur’an itu tetap hidup dan menjadi dasar hidup setiap muslim dijaman modern sekarang ini, maka bagaimana kita menempatkan pemahaman kita di hadapan semua teks-teks kitab suci ?
Ingat sabda Nabi Muhammad Saw :
إِنَّ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ يَبْعَثُ لِهَذِهِ اْلأُمَّةِ عَلَى رَأْسِ كُلِّ مِئَةِ سَنَةٍ مَنْ يُجَدِّدُ لَهَا دِيْنَهَا
“Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala mengutus bagi umat ini di penghujung setiap seratus tahun seseorang yang mentajdid (memperbaharui) agama umat ini.”
Hadits ini Diriwayatkan oleh Al-Imam Abu Dawud As-Sijistani rahimahullahu dalam Sunan-nya no. 4291. Dikeluarkan pula oleh Al-Imam Abu ‘Amr Ad-Dani dalam As-Sunan Al-Waridah fil Fitan no. 364, Al-Imam Al-Hakim dalam Mustadrak-nya, 4/522, dan selain mereka seperti Al-Imam Al-Baihaqi, Al-Khathib, dan Al-Harawi.
Asy-Syaikh Al-’Allamah Al-Muhaddits Muhammad Nashiruddin Al-Albani rahimahullahu menshahihkan hadits ini dalam Shahih Abi Dawud, Ash-Shahihah no. 599, dan Shahih Al-Jami’ Ash-Shaghir no. 1874. Beliau berkata: “Sanad hadits ini shahih, para perawinya tsiqah (terpercaya), merupakan perawi yang diriwayatkan oleh Al-Imam Muslim rahimahullahu (dalam Shahih-nya).” (Ash-Shahihah, 2/148) ; Beliau juga mengatakan: “(Faidah): Al-Imam Ahmad rahimahullahu mengisyaratkan shahihnya hadits ini. [ Sumber : http://www.asysyariah.com/print.php?id_online=339 ]
Berdasarkan hadis diatas tadi, maka ALLAH akan mendatangkan seorang mujaddid. Mujaddid maknanya seorang yang membawa pembaharuan. Di sini dapat kita pahami bahwa orang yang membawa pembaharuan itulah yang dikatakan mujaddid. Mujaddid itu bahasa Arab, di dalam bahasa Inggris dikatakan ‘Reformer’, atau dalam bahasa Indonesia disebut Pembaharu.
Apa tugas Mujaddid dan apakah memang hanya seorang saja ?
Sabda Nabi lainnya :
مَنْ يُجَدِّدُ لَهَا دِيْنَهَا
“Seseorang yang mentajdid (memperbaharui) agama umat ini”, yakni orang itu menerangkan tentang As-Sunnah sehingga jelas mana yang bid’ah. Ia menyebarkan ilmu, menolong ahlul ilmi, mematahkan dan merendahkan ahlul bid’ah. (‘Aunul Ma’bud, kitab Al-Malahim, bab Ma Yudzkaru fi Qarnil Mi`ah).
Jumlah mujaddid yang Allah tampilkan dalam setiap kurun bisa jadi hanya satu, namun bisa pula berbilang. Mujaddid tersebut harus merupakan seorang alim yang mengetahui ilmu agama secara dzahir maupun batin. Demikian faidah yang diambil dari ucapan Al-Munawi. (Mukaddi-mah Faidhul Qadir, 1/10)
Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-’Asqalani rahimahullahu berkata: “Pemahaman yang menyatakan bahwa jumlah mujaddid di setiap kurun itu bisa berbilang, lebih dari satu, memiliki sisi kebenaran. Karena terkumpulnya sifat-sifat yang dibutuhkan untuk men-tajdid perkara agama ini tidak dapat dibatasi pada satu jenis kebaikan saja. Dan tidak mesti seluruh perangai kebaikan dapat terkumpul pada satu orang.
Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-’Asqalani rahimahullahu berkata: “Pemahaman yang menyatakan bahwa jumlah mujaddid di setiap kurun itu bisa berbilang, lebih dari satu, memiliki sisi kebenaran. Karena terkumpulnya sifat-sifat yang dibutuhkan untuk men-tajdid perkara agama ini tidak dapat dibatasi pada satu jenis kebaikan saja. Dan tidak mesti seluruh perangai kebaikan dapat terkumpul pada satu orang.
Mujaddid yang hadir pada awal kurun tugasnya adalah memperbaharui urusan agama. Apakah maksud memperbaharui urusan agama? Apakah dia memperbaharui isi al Quran, Hadis atau isi Islam? Tidak, ia tetap berpedomankan kepada al-Quran, Hadis dan akhlak Islam yang pernah dibawa oleh Rasulullah Saw, hanya saja dia menggunakan approach, style atau pendekatan yang baru yang mungkin tidak pernah ditempuh oleh orang lain selama ini sehingga Islam dapat diamalkan dan dimengerti oleh masyarakat.
Dengan kata lain, ajaran Islam yang lama yang sudah ditinggalkan itu dapat dihidupkan kembali oleh mujaddid tersebut dengan menggunakan metode, uslub, teknik, strategi dan kaedah baru yang sesuai dengan pikiran dan suasana zamannya. Kemudian style antara mujaddid yang satu dengan mujaddid yang lain juga tidak harus sama tekniknya akan tetapi intinya bahwa yang diperjuangkan mereka adalah sama.
Demikian sedikit dari saya, bagi yang berkeberatan dengan apa yang saya sampaikan ini dan bahkan menolak semua pemikiran atau cara-cara penafsiran yang saya lakukan maka silahkan menggunakan apa yang sudah anda yakini kebenarannya, saya tidak pernah bermaksud untuk memaksakan kehendak, toh saya pun hanya manusia biasa yang masih harus terus belajar dan belajar sampai maut menjemput.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar