PENGERTIAN QAWAID FIQHIYYAH DAN QAWAID USHULIYYAH
Alhamdulillah,
segala puji bagi Allah SWT. Kami memuji, memohon pertolongan dan
ampunan serta perlindungan kepada-Nya dari kejahatan jiwa dan keburukan
amal perbuatan. Barang siapa diberi petunjuk oleh Allah SWT, tak
seorang pun dapat menyesatkannya dan barang siapa disesatkan-Nya, tak
seorang pun dapat memberinya petunjuk. Aku bersaksi tiada tuhan selain
Allah dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya.
Sehubungan dengan tugas mata kuliah Ushul Fiqh II, kami telah menyelesaikan makalah yang berjudul Pengertian Qawaid Fiqhiyyah dan Qawaid Ushuliyyah. Makalah ini disusun dengan mengacu kepada referensi-referensi yang ada, dengan susunan isi makalah antara lain :
1. : Pendahuluan
2. : Pengertian Al-Qawâ’id al-Fiqhiyah
3. : Pengertian Qaidah Ushuliyyah
4. : Beberapa Contoh Qaidah Ushuliyyah
5. : Kegunaan Kaidah Fikih
6. : Perbedaan antara Qawaid Ushuliyyah dan Qaidah Fiqih
7. : Kitab-Kitab Qaidah Fiqh
8. : Daftar Pustaka
2. Pengertian Al-Qawâ’id al-Fiqhiyah
Al- Qawâ’id merupakan jamak dari qaidah (kaidah). Para ulama mengartikan qaidah secara etimologi (asal usul kata) dan terminologi (istilah). Dalam arti bahasa, qaidah bermakna asas, dasar, atau fondasi, baik dalam arti yang konkret maupun yang abstrak, seperti kata-kata qawâ’id al-bait, yang artinya fondasi rumah, qawâ’id al-dîn, artinya dasar-dasar agama, qawâ’id al-îlm, artinya kaidah-kaidah ilmu. Arti ini digunakan di dalam Al-qur’an surat Al-Baqarah ayat 127 dan surat an-Nahl ayat 26 :
|
“Dan ingatlah ketika Ibrahim meninggikan dasar-dasar Baitullah bersama Ismail........” (QS. Al-Baqarah : 127).
“.......Allah menghancurkan bangunan mereka dari fondasi-fondasinya........” (QS. An-Nahl : 26)
Dari kedua ayat tersebut bisa disimpulkan arti kaidah adalah dasar, asas atau fondasi, tempat yang diatasnya berdiri bangunan.[1]
Sedangkan
arti fiqhiyah diambil dari kata fiqh yang diberi tambahan ya’ nisbah
yang berfungsi sebagai penjenisan atau membangsakan. Secara etimologi
makna fiqh lebih dekat dengan makna ilmu sebagaimana yang banyak
dipahami oleh para sahabat, makna tersebut diambil dari firman Allah SWT
dalam surat At-Taubah ayat 122 :
| |||
“untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama”
Hadist Nabi SAW : “Barang siapa dikehendaki baik oleh Allah maka akan dimudahkan dalam urusan agama” (HR. Bukhari Muslim)
Maka Al-Qawâ’id al-Fiqhiyah (kaidah-kaidah fiqh) secara etimologis adalah dasar-dasar atau asas-asas yang berkaitan dengan masalah-masalah atau jenis-jenis fikih.[2]
Para
ulama berbeda dalam mendefinisikan kaidah secara terminologi
(istilah). Ada yang meluaskannya dan ada yang mempersempitkannya. Akan
tetapi, substansinya tetap sama.
Sebagai contoh, Muhammad Abu Zahrah mendefinisikan kaidah dengan :
“Kumpulan hukum-hukum yang serupa yang kembali kepada qiyas/analogi yang mengumpulkannya”[3]
Sedangkan Al-Jurjani mendefinisikan kaidah fikih dengan :
”Ketetapan yang kulli (menyeluruh, general) yang mencakup seluruh bagian-bagiannya”[4]
Imam Tajjuddin al-Subki (w.771 H) mendefinisikan kaidah dengan :
”Kaidah
adalah sesuatu yang bersifat general yang meliputi bagian yang banyak
sekali, yang bisa dipahami hukum bagian tersebut dengan kaidah tadi”[5]
Bahkan Ibnu Abidin (w. 1252 H) dalam muqaddimah-nya, dan Ibnu Nuzaim (w. 970 H) dalam kitab al-asybâh wa al-nazhâir dengan singkat mengatakan bahwa kaidah itu adalah :
”Sesuatu yang dikembalikan kepadanya hukum dan dirinci dari padanya hukum”[6]
Sedangkan menurut Imam al-Suyuthi di dalam kitabnya al-asybâh wa al-nazhâir, mendefinisikan kaidah : ”Hukum kulli (menyeluruh, general) yang meliputi bagian-bagiannya”[7]
Dari
definisi-definisi tersebut di atas, jelas bahwa kaidah itu bersifat
menyeluruh yang meliputi bagian-bagiannya dalam arti bisa diterapkan
kepada juz’iyat-nya (bagian-bagiannya).
Kaidah-kaidah fikih
yaitu kaidah-kaidah yang disimpulkan secara general dari materi fikih
dan kemudian digunakan pula untuk menentukan hukum dari kasus-kasus
baru yang timbul, yang tidak jelas hukumnya di dalam nash.
3. Pengertian Qaidah Ushuliyyah
Ushul Fiqh berasal dari dua kata, yaitu kata ushl bentuk jamak dari Ashl dan kata fiqh. Ashl secara etimologi diartikan sebagai “fondasi sesuatu, baik yang bersifat materi ataupun bukan”.
Adapun menurut istilah, Ashl mempunyai beberapa arti :
a. Dalil, yakni landasan hukum, seperti pernyataan para ulama ushul fiqh bahwa ashl dari wajibnya shalat lima waktu adalah firman Allah SWT dan Sunnah Rasul.
b. Qa’idah, yaitu dasar atau fondasi sesuatu, seperti sabda Nabi Muhammad SAW : ”Islam itu didirikan atas lima ushul (dasar atau fondasi)”.
c. Rajih, yaitu yang terkuat, seperti dalam ungkapan para ahli ushul fiqih : ”Yang terkuat dari (isi/kandungan) suatu hukum adalah arti hakikatnya”.
Maksudnya, yang menjadi patokan dari setiap perkataan adalah makna hakikat dari perkataan tersebut.
d. Mustashhab,
yakni memberlakukan hukum yang sudah ada sejak semula selama tidak ada
dalil yang mengubahnya. Misalnya, seseorang yang hilang, apakah ia
tetap mendapatkan haknya seperti warisan atau ikatan perkawinannya?
Orang tersebut harus dinyatakan masih hidup sebelum ada berita tentang
kematiannya. Ia tetap terpelihara haknya seperti tetap mendapatkan
waris, begitu juga ikatan perkawinannya dianggap tetap.
e. Far’u (cabang), seperti perkataan ulama ushul : ”Anak adalah cabang dari ayah” (Abu Hamid Al-Ghazali)
Dari kelima pengertian ashl di atas, yang biasa digunakan adalah dalil, yakni dalil-dalil fiqih.
Maka qaidah ushuliyyah adalah dalil syara’ yang bersifat menyeluruh, universal dan global (kulli dan mujmal). Qaidah ushuliyyah merupakan sejumlah peraturan untuk menggali hukum. Qaidah ushuliyyah umumnya berkaitan dengan ketentuan dalalah lafazh atau kebahasaan.
Qaidah ushuliyyah berfungsi sebagai alat untuk menggali ketentuan hukum yang terdapat dalam bahasa sumber hukum. Menguasai qaidah ushuliyyah dapat mempermudah faqih untuk mengetahui hukum Allah dalam setiap peristiwa hukum yang dihadapinya.
Dengan demikian di dalam hukum islam ada dua macam kaidah, yaitu :
Pertama, kaidah-kaidah ushul fiqh, yang kita temukan di dalam kitab-kitab ushul fiqh, yang digunakan untuk mengeluarkan hukum (takhrîj al-ahkâm) dari sumbernya, Al-qur’an dan/atau Al-hadist.
Kedua, kaidah-kaidah fikih, yaitu kaidah-kaidah yang disimpulkan secara general
dari materi fikih dan kemudian digunakan pula untuk menentukan hukum
dari kasus-kasus baru yang timbul, yang tidak jelas hukumnya di dalam nash.
Oleh karena itu baik kaidah-kaidah ushul fiqh
maupun kaidah-kaidah fikih, bisa disebut sebagai metodologi hukum
islam, hanya saja kaidah-kaidah ushul sering digunakan di dalam takhrîj al-ahkâm, yaitu mengeluarkan hukum dari dalil-dalilnya (Al-qur’an dan Sunnah). Sedangkan kaidah-kaidah fikih sering digunakan di dalam tathbîq al-ahkâm, yaitu penerapan hukum atas kasus-kasus yang timbul di dalam bidang kehidupan manusia.
4. Beberapa Contoh Qaidah Ushuliyyah
Untuk mengenal qaidah ushuliyyah lebih jauh, di bawah ini disebutkan beberapa qaidah ushuliyyah :
a. Kaidah :
”Bila dalil yang menyuruh bergabung dengan dalil yang melarang maka didahulukan dalil yang melarang”
b. Kaidah :
”Petunjuk perintah (amr) menunjukkan wajib”
c. Kaidah :
”Makna implisit (kabur, gelap) tidak dijadikan dasar bila bertentangan dengan makna eksplisit (terang, tegas)”
d. Kaidah :
”Petunjuk nash didahulukan daripada petunjuk zahir”
e. Kaidah :
”Tidak dibenarkan berijtihad dalam masalah yang ada nash-nya”
f. Kaidah :
”Perintah terhadap sesuatu berarti larangan atas kebalikannya”
5. Kegunaan Kaidah Fikih
Berbagai ungkapan para ulama tentang kepentingan dan manfaat dari kaidah-kaidah fikih, antara lain :
a. Dengan
mengetahui kaidah-kaidah fikih kita akan mengetahui asas-asas umum
fikih. Sebab, kaidah-kaidah fikih itu berkaitan dengan materi fikih yang
banyak sekali jumlahnya.
b. Dengan
memperhatikan kaidah-kaidah fikih akan lebih mudah menetapkan hukum
bagi masalah-masalah yang dihadapinya, yaitu dengan memasukkan masalah
tadi atau menggolongkannya kepada salah satu kaidah fikih yang ada.
c. Dengan
kaidah fikih akan lebih arif di dalam menerapkan fikih, dalam waktu
dan tempat yang berbeda untuk keadaan dan adat kebiasaan yang
berlainan.
d. Dengan
menguasai kaidah-kaidah fikih, bisa memberikan jalan keluar dari
berbagai perbedaan pendapat di kalangan ulama, atau setidaknya
menguatkan pendapat yang lebih mendekati kepada kaidah-kaidah fikih.
e. Dengan
mengetahui kaidah-kaidah fikih akan mengetahui rahasia-rahasia dan
semangat hukum-hukum islam (rûh al-hukm) yang tersimpul di dalam
kaidah-kaidah fikih.
f. Orang
yang menguasai kaidah-kaidah fikih di samping kaidah-kaidah ushul,
akan memiliki keluasaan ilmu dan hasil ijtihadnya akan lebih mendekati
kepada kebenaran, kebaikan dan keindahan.
6. Perbedaan antara Qawaid Ushuliyyah dan Qaidah Fiqih
Perbedaan pokok antara qawaid ushuliyyah dan qaidah fiqih, adalah sebagai berikut :
a. Objek qawaid ushuliyyah adalah dalil hukum, sedangkan qaidah fiqih adalah perbuatan mukallaf.
b. Ketentuan qawaid ushuliyyah berlaku bagi seluruh juziyyah, sedangkan qaidah fiqih berlaku pada sebagian besar (aghlab) juziyyah.
c. Qawaid ushuliyyah, sebagai saran istinbath hukum, sedangkan qawaid fiqih sebagai usaha menghimpun dan mendekatkan ketentuan hukum yang sama untuk memudahkan pemahaman fiqih.
d. Qawaid ushuliyyah bisa bersifat prediktif, sedangkan qawaid fiqih bersifat wujud setelah ketentuan furu’
e. Qawaid ushuliyyah bersifat kebahasaan dan qaidah fiqih bersifat ukuran.
7. Kitab-Kitab Qaidah Fiqh
a) Kitab-Kitab Qaidah Fiqh Mazhab Hanafi
- Ushul al-Karkhi, Abu Hasan al-Karkhi (260-340 H) memuat 37 kaidah fikih.
- Ta’sis al-Nazhar, Abu Zaid al-Dabusi (w. 430 H) memuat 86 kaidah fikih.
- Al-Asybah wa al-Nazhair, Ibnu Nuzaim (w. 970 H) memuat 25 kaidah fikih.
- Majami’ al-Haqaiq, Abi said al-Khadimi memuat 154 kaidah fikih.
- Majalah al-Ahkam al-Adliyah, Ahmad Udat Basya memuat 99 fikih.
b) Kitab-Kitab Qaidah Fiqh Mazhab Maliki
- Ushul al-Futiya fi al-Fiqh ’ala Mazhab al-Imam Malik, Ibnu Haris al-Husyni (w. 361 H)
- Al-Furuq, al-qurafi (w. 684 H) memuat 548 kaidah fikih.
- Al-Qawa’id, al-Maqari (w. 758 H) memuat 758 kaidah fikih.
- Idhah al-Masalik ila Qawa’id al-Imam Malik, al-Winsyarisi (w. 914 H) memuat 118 kaidah fikih.
c) Kitab-Kitab Qaidah Fiqh Mazhab al-Syafi’i
- Qawa’id al-Ahkam fi Mashalih al-Anam, Izzuddin bin Abd al-Salam (577-660 H).
- Al-Asybah wa al-Nazhair, Ibnu al-Wakil (w. 716 H).
- Al-Majmu al-Mudzhab fi Qawa’id al-Mazhab, Abu Sa’id al-Ala’i (w. 761 H).
- Al-Asybah wa al Nazhair, Taj al-Din Ibnu al-Subki (w. 771 H).
- Al-Mansur fi Tartib al-Qawa’id al-Fiqhiyah atau al-Qawa’id fi al Furu, al-Zarkasyi (w. 794 H).
- Al-Asybah wa al-Nazhair, Imam al-Suyuthi (w. 911 H) memuat 20 kaidah.
- Al-Istighna fi al-Farqi wa al-Istitsna, Badrudin al-Bakri.
d) Kitab-Kitab Qaidah Fiqh Mazhab Hanbali
- Al-Qawa’id al-Nuraniyah al-Fiqhiyah, Ibnu Taimiyah (661-728 H).
- Al-Qawa’id al-Fiqhiyah, Ibnu Qadhi al-Jabal (w. 771 H).
- Taqrir al-Qawaid wa Tahrir al-Fawaid, Ibnu Rajab al-Rahman memuat 160 kaidah.
- Al-Qawa’id al-Kulliyah wa al-Dhawabith al-Fiqhiyah, Ibnu Abd al-Hadi (w. 909 H).
Pada masa sekarang banyak kitab-kitab kaidah yang ditulis, seperti :
- al-Qawa’id al-Fiqhiyah oleh Ali Ahmad al-Nadwi.
- Syarh al-Qawa’id al-fiqhiyah oleh Syekh Ahmad bin Syekh Muhammad Zarqa.
- Al-Wajiz fi Idhah Qawa’id al-Fiqh al-Kuliyyah oleh Muh. Shiddieqy bin Ahmad al-Burnu.
- Idhah al-Qawa’id al-Fiqhiyah oleh Syekh Abdullah bin Said Muhammad Ibadi.
- Kaidah-kaidah Fikih oleh Asymuni A Rahman (dalam Bahasa Indonesia).
- Kaidah Fikih oleh Jaih Mubarok (dalam Bahasa Indonesia).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar